“Ehh, Kekdahnya Tahun Baru”: Membaca dengan Perspektif “Tolollogy”




“Ehh, Kekdahnya Tahun Baru”: Membaca dengan Perspektif “Tolollogy”

Oleh: Moehji Ben Sjamsoeir

Semalam ceritanya saya ikut melihat perayaan tahun baru, walaupun pada dasarnya perayaan itu sudah dimulai ketika tahun sudah tak lagi baru melainkan sudah sangat tua, tepat beberapa menit sebelum kematian tahun 2016 yang sudah disiapkan beberapa nisannya salah satunya adalah nisannya yang berukiran “OM TELOLET OM” yang telah dinobatkan sebagai tokoh nasoional dalam tagar “#bahagiaitusederhana” sembari menunggu persalinan 2017 sebagai tahun baru yang akan diberikan nama apa kiranya. Melihat perayaan tahun baru ini terkadang membuat saya tidak bisa berfikir sebagaimana seharusnya saya berfikir sehingga akhirnya saja berfikir seperti ini.

Saya berfikir pergantian tahun yang dirayakan yang kerap disebut tahun baru ini, membuat saya melayang-layang dalam nostalgia sebuah bacaan, yaitu bacaan saya tentang penggantian sebuah rezim, mungkin seperti dari rezim Orla dengan demokrasi terpimpiannya digantikan oleh Orba dengan rezim pemabangunan otoriternya. Setelah mega hujan ternyata mendung masih saja rupanya membuat saya harus menangis dengan cara tertawa, begini bunyinya Bung “Hikks,Hikss Haha Hikss”. Saking prihatinnnya sampai-sampai mental saya harus direvolusi.

Saya berfikir begitulah yang terkadang terjadi dengan pemerintahan yang ada dalam diri ini dengan segala macam bentuk dan simbol rezimnya. Dari tahun ketahun, setidaknya dalam satu tahun ada tiga kali rezim dalam diri ini berganti atau hanya seksedar resufle kabinet imajinasi. Mulai rezim ulang tahun dengan slogan “ happy birth day” dan “reborn”nya sampai dua rezim pergantian tahun yang masih kental sloganismenya yaitu slogan “nasoanlis religious”nya.

Rezim memang berubah, kabinet-kabinet dirombak dengan dalil fundamental dalam istilah dekontruksi kabinet diri dengan segala macam kontitusi diri yang baru, tapi semua tak berdaya menahan rayuan oleh lobi-lobi politik perut dan kelamin dan tikus-tikus dalam diri ini masih mengakar dan mencakar dalam birokrasi pribadi. Sehingga keputusan dari tim penilai dari langit berkesimpulan; akreditasi setiap rezim diri telah terdafatar di langit dengan akreditas Z- (minus).

***
Dengan kegilaan karena terlalu mengikuti imajinasi-imajinasi liar itu. Setelah saya sedikit berdebat dengan fikiran saya sendiri dan akhirnya saya melobi dan menyogok satu pihak dari fikiran saya agar tulisan diterbitkan majamenjadi antologi dari berbagai surat kabar dan majalah imajinasi dengan judul “Ehh, Kekdahnya Tahun Baru dalam Perspektif “Tolollogy”.  Membaca tahun baru dengan ilmu ketololan yang nantinya akan dibedah pada seminar dinding warna biru putih itu yang audeinsya terkadang hanya membawa jempolnya tapi lupa membawa kepalanya untuk mengkritisi.

Sebelum mengurai ketidak jelasan ini, tampaknya saya dengan teman-teman pembaca sekalian harus membuat kesepakatan bahwa suara kembang api itu seperti suara kontak senjata masa Daerah Operasi Militer diberlakukan dahulu, Hanya saja durasi kontak senjata lebih lama dan butuh refleksi yang tidak sebentar. Disini perlu juga saya sampaikan tulisan ini adalah bentuk refleksi dan imajinasi saya ketika mendengar suara kembang api ketika perayaan tahun baru semalam. Di samping suara-suara ledakan dari kembang api itu, tulisan ini juga bentuk imajinasi dari sekian banyak tulisan dan seruan agar menjadikan moment tahun baru sebagai ajang untuk merefleksikan diri. 

Dalih dan dalil refleksi itu saya amini dengan suara hati yang amat deras (sedikit menghanyutkan). Ada sebuah kenyataan yang tak bisa dielak rupanya; untuk meninggalkan tahun yang lama di beberapa kota-kota besar dan beberapa kota-kota yang agak besar memang harus direfleksi dan direfleksikan—dalam hal ini saya mencoba untuk membedakan direfleksi dengan direfleksikan, direfleksi saya membayangkan sebuah pijat refleksi (refleksi jasmaniah) sedangkan direfleksikan adalah merasakan dengan hati (refleksi ruhaniah).

 Alasan saya ikut mengamini dalil dan dalih refleksi itu sebagai seuatu yang sangat dibutuhkan karena saya merasakan macetnya ketika hendak menuju lokasi perayaan tahun baru sudah pada tingkat—meminjam bahasanya Bang Arie Kriting "Ampun sudah". Dalam suasana macet dan berdesakan itulah kiranya direfleksi (dipijat) itu sangat dibutuhkan dan diinginkan oleh semua orang. direfleksi mulai dari telapak kaki sampai jari-jari tangan, pinggul, bahu singkatnya seluruh anggota badan yang pegal-pegal.

Begitu pula dengan hikayat-hikayat meletusnya DOM dahulu, semua orang butuh refleksi, tidak hanya merefleksi ruhaniahnya saja (hati dan fikiran) juga harus direfleksi jasmaniahnya terkhusus perutnya. Bagaimana tidak, membawa makanan ke kebun harus dengan perasaan was-was dan hati-hati, bukan karena takut tumpah tapi karena takutnya ditumpahkan, alasannya sangat tidak masuk akal tapi masih bisa diakal-akali yaitu dicurigai akan meberi makan kombatan. Gelengpun kepala kita sampai copot untuk tidak percaya tapi itu adalah kenyataan yang tidak bisa dielakkan dan sudah menjadi sejarah yang tidak akan pernah ada dalam sejarah nasional jika sejarah nasional masih diplotisasi dan dihegemoni oleh sifat dan sikap “neo-sektarianisme bercelak nasilonal”.

Baiklah teman-teman pembaca sekalian, kita kembali pada pembahasan tahun baru dan kemacetan, Dalam keadaan demikian (macet) tentu akan sangat susah kita dapati panti pijat dilevery, jika pun memang ada tentu kita sudah bisa menebak dan mengira-ngira, sudah barang tentu tarifnya tidak sebagaimana tarif pada umunya, sebagaimana teori-teori ekonomi mengingatkan kita, ketika barang langka dan peminat banyak maka harga bisa “disetel” tinggi.

Suasana yang macet dan berdesakan sangat menuntut kita sadar bahwa panti pijat tidak akan kita dapati di tengah-tengah kemacetan jika kita tidak memiliki uang lebih untuk menyewa asisten pijat pribadi. Hal seperti inilah membuat kita pada akhirnya kita pasrah dan memang tepat kiranya, jika refleksi itu di tujukan kepada kesadaran dan kepasrahan. Kerena dalam keadaan seperti itu (macet) sudah seharusnya refleksikan ruhaniah, hati dan fikiran kita, ada sebuah kalimat yang saya tidak mengerti dari mana asalanya "mohon bersabar, ini ujian". kalimat itulah kerap kami ulang berkali-kali sehingga menjadi slogan penawar dan menghibur ditengah menggerutunya hati dihimpit kemacetan.

Jika saya tarik-tarik paksa dalam nostalgia yang menggila kala itu  (ketika DOM dahulu) hampir sama halnya dengan perayaan tahun baru ini, sebelum ada perayaan mesti ada perjuangan. Begitupunlah DOM dahulu, sebelum akhirnya berpelukan GAM dan RI berpelukan dalam moment MoU Helsinki banyak sekali orang yang mesti kehilangan “gigi dan gizi”. Karena begini kawan, dalam suasana “kemacetan” DOM dahulu, masyarakat juga ikut macet, macet perekomoiannya, macet keseshatannya, macet keamamannya, semuanya mecet.

Bangunan sitem keluharan dan kearifan dalam masyarakat porak-poranda, bangunan sistem gotong royongnya hancur. Dalam sebuah cerita lokal di batas teritorial halaman rumah tangga, ibu saya pernah menjadi pemborong, ceritanya ibu saya memborong habis stok susu di warung, yang ketika itu tinggal lima keleng, padahal kala itu susu sangat sulit didapatkan sedangkan di dusun kami tinggal lima kaleng itulah stok terakhir, jika kita melihat kebutuhan orang lain saya akan berpandangan lain dengan sikap ibu saya ini karena bisa jadi orang lain tidak mendapatkan susu. Karena keadaan yang tidak karuan, keadaan konflik seperti itu susah kiranya bagi kita untuk berfikir panjang tentang orang lain karena dalam keadaan yang mencekam seperi itu semua orang bisa menjadi egois seketika.

Bagaimanapun kebutuhan akan refleksi jasmani pada masa itu adalah kebutuhan yang sangat-sangat dibutuhkan. Ketika itulah datang orang-orang dengan nyali yang tinggi berjualan keliling lintas provinsi, lintas kecamatan dan lintas-lintas yang lainnya memberanikan diri masuk desa, menawarkan barang dagangan, seperti pakaian, kebutuhan sehari-hari lainnya. disaat seperti inilah kita memang harus damai dengan hati kita agar senantiasa sabar “sabar ini ujian”, dimana dahulu kita bisa bertani untuk makan sehari-hari tapi karena keadaan sedang darurat kita harus membeli.

Sangat bersukur kiranya orang-orang yang disubsidi negara, setiap bulan ada tunjangan. Namun kita bisa kira sendiri cukup dengan jari tangan dan kaki, dalam satu desa hanya beberapa orang sajalah yang diberikan kemudahan disubsidi oleh negara, dari uang tunjangan yang keluar sebulan sekali itulah dinikmati bersama setidaknya dengan sanak saudara dan orang-orang sekitar rumah. 

Disamping harus bersyukur juga musti banyak-banyak bersabar, karena keadaan bisa saja berbalik arah. Seharusnya dalam keadaan ekonomi kampung tak menentu sebagai kalangan yang disubsidi bisa membeli untuk mencukupi kebutuhan, namun keadaan yang seharusnya menyenangkan itu menjadi alat pencekam karena orang-orang yang disubsidi oleh negara harus dicurigai pro-tentara, belumlah lagi harus menyetor pajak nanggroe, belum lagi diintimidasi dengan ancaman-ancaman pembunuhan.

Inilah sekelumit pengamatan dan refleksi imajinasi saya tetang perayaan tahun baru yang baru sejak lama saya remkam dan pada tahun ini kiranya ia ditayangkan, saya sampaikan dengan gaya bahasa yang bukan tugas teman-teman untuk mengertikannya. Pada intinya yang sangat penting untuk kita pahami dan sadari terrnyata dibalik kehura-huraan kita masih banyak keharuan dan kesedihan, kebagaian kita yang melambung tinggi dan indah seperti kembang api yang kita bakar semalam, tepat dibawah percikan bunga api itu ada orang-orang yang mencari hidup, begitupun disudut-sudut dunia sana ada yang tangisannya meroket dan lebih keras dari ledakan rudal-rudal.

Akhirnya sebelum saya akhiri, maka saya coba untuk membuat semacam kesimpulan yang bunyinya begini. "Bermacet-macet dahulu, cari-cari tempat kemudian, sampai-sampai asap kembang api aku kira awan, menyelimuti mata dari relitas yang berberlit kelindan, mari berkumpul kawan yuk pulang jalan kembali sudah teramat terang”.

Yogyakarta, 1 Januari 2017

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Alangkah lucunya negri ini,,, semangat dak😂😂😂

    BalasHapus
  3. Yapp.. trimokasih atas semangatnyo yo.. mohon sangat kritik sarannya.

    BalasHapus

Posting Komentar