Bahkan Bila Aku Berubah Menjadi Sebatang Pohon Pisang (Catatan Seorang Wisudawan)



archive.ivaa-.org


Sebagai sisa-sisa mahasiswa purba yang hari ini mengakhiri masa purba itu dengan sebuah upacara khusus yang karenanya kemarin perlu sebuah gladiresik agar tak salah-salah pada hari H. Membayangkan rupa-rupa persiapan, aku membayangkan sebuah kenduri, yang punya hajat akan sibuk menyiapkan ini itu. Menyiapkan sesantapan hingga mencari seorang tengku untuk memimpin do’a. Kukira aku juga harus mempersiapkan segala hal untuk upacara ini. Mulai dari mempersiapkan baju yang dipakai sekali seumur kuliah, yaitu baju toga sepaket dengan topi juga kalung-kalungnya. Aku ikut wisuda daring alias online lantaran karena memang memilih online, sebab yang luring hanya tertentu. Dari sekian ketentuan aku bukan salah satunya.

Rasanya, perjuangan berdarah, bernanah dan berlintah-lintah ini sangat pantas untuk dirayakan. Sebab bukan sembarang orang yang bisa kuliah tujuh tahun, melampaui masa studi di Sekolah Dasar, seperti tak semua orang bisa menjadi tercepat terbaik dengan masa studi kurang dari delapan semester. Ibaratnya, mana kala teman-teman yang tercepat terbaik hari ini itu baru masuk kuliah dan sedang semangat-semangatnya, aku sedang memikirkan alibi tercerdas di muka bumi untuk mengakhiri kuliah. Namun ternyata alasan terbaik mengakhiri kuliah tetap nasihat Ibuku. Tak lain tak bukan, "Selesaikanlah, nak".

Dalam literatur legenda-legenda Melayu. Kata-kata Ibu merupakan do'a bukan sembarang doa, ialah rupa do'a yang ajaib. Bila seorang ibu berkata, "jadilah kau batu" maka Tuhan akan mengabulkan, maka jadilah. Ibuku mengatakan, "Selesaikanlah" maka Tuhan pun menyelesaikan urusanku, tentu dengan serangkaian peristiwa-peristiwa yang membimbing jalanku untuk kemudian menjadi selesai. Sebegitu sakralnya do'a dan kata-kata seorang Ibu.

Aku mengambil keputusan untuk tetap kuliah tentu dengan segala macam resiko dan tanggungan. Tanggungan yang paling pedih tentu bukan aku yang menanggungkan melainkan Ayah Ibuku. Betapa tidak, selain menanggung biaya juga harus menanggung muka. Sebab memang ada saja yang bertanya, "Anak sudah selesai belum?" tentu Ibu dan Ayahku hanya mampu menelan getir, sisa-sisa kegetiran itu pula yang aku telan seperti menelan air mata di bawah hujan. Kau tahu bagaimana rasanya menelan air mata di bawah hujan? Itulah jenis kesedihan yang dingin. Seperti percakapan dan cinta yang dihimpit dua pucuk kutub.

Tapi tak mengapa, aku percaya kata pepatah Melayu lama. Lain lubuk lain ikannya, lain orang lain tabiatnya. "Iya, Bu. Aku janji akan kuselesaikan" jawabku. Di dalam hati kujumputkan kata-kata Buya Hamka seperti dulu nenekku menjumputkan pulut ke hidungku. Kata-kata itu kudapat setelah membaca novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, yang kira-kira begini bunyinya, "Sekali layar telah dibentang, pantang perahu surut ke tepi, walau gelombang badai begitu kejamnya. Robek layar, patah kemudi jauh lebih baik baginya"

Barangkali, beberapa orang telat menyelesaikan studi dengan alasan yang logis, terang, jelas dan terukur. Misal, organisasi dan perkerjaan. Tentu perkara yang dihadapi adalah membagi waktu. Masalahnya aku tak keduanya. Berkerja tidak, berorganisasi pun sekedarnya. Bila yang logis hanya yang mampu dipahami, entahlah, apakah menulis catatan harian, membaca novel dan puisi dapat menjadi bahan alasan? Apa lagi setelah kuingat-ingat dan kurasa-rasa, itu catatan harian berikut novel dan puisi-puisi kukira adalah rupa-rupa yang tidak tempatnya dalam kajian hukum. Sangat wajar dan beralasan. Undang-undang yang tatakalimatnya sudah jelas saja masih bisa diselewengkan, apatah lagi puisi yang kalimatnya mengandung bunga-bunga dan serbuk sari.

Untuk sekedar membesarkan hati, lain kata kita sebut untuk sekedar pelipur lara. Aku bersyukur, selama kuliah aku telah menulis dua buku puisi dan satu novel mini. Tentu saja itu buku yang "bagus" menurut temanku, kualitas cetaknya, lebih-lebih isinya. Penting dicatat, sakin bagusnya sampai temanku itu lupa judulnya, apa lagi isinya. Padahal waktu itu kami sedang membedahnya. Sungguh benar bila dikatakan manusia tempatnya lupa.

Namun demikian, aku tidak pernah terlalu menyesali bahwa buku yang kata temanku "bagus" itu telah membuat studiku sebegini parah.  Sebab seperti kata orang Melayu, apa guna menangisi barang hal yang sudah terjadi. Apa guna mengandai kejadian yang silam. Kalau kuingat-ingat lagi kata Ibuku, “Lompat pun kau ke langit kalau sudah terjadi tidak bisa tidak terjadi”. Aku telah kuliah tujuh tahun dan membuat tiga buku. Berserak pun kubuat Bukit Barisan, datar-runtuh kubuat Gunung Sikorong, itu barang sudah terjadi. Berlarut-larut dalam penyesalan tentu tidak akan membuat  air kembali ke hulu,  dan sungguh tidak membuat aku kuliah empat tahun dan tidak membuat buku meski telah dua ribu dua puluh satu kali aku sesali. Sebab itu sudah terjadi.

Beberapa bulan lalu, bulan-bulan genting dan tegang. Masa-masa aku terngiang-ngiang dengan kata tetua Kluet yang dikatakan Ayahku, "Buat di harus mekesampia, ulang ngkahie ndak tuk, ngkolu ndak sampang" yang artinya kira-kira, "Setiap sesuatu yang telah dimulai harus diakhiri, jangan ke selatan tak sampai ke utara tak sempat". Aku membayangkan begitulah nasib studiku waktu itu. Ingin berhenti tapi sudah tanggung. Ingin selesai tapi skripsi masih terkatung-katung.

Rasanya, mana kala kukenang-kenangkan lagi, saat itu tak ada yang paling pantas selain menangis, namun aku teringat potongan kata-kata dalam kumpulan cerita pendek "Dilarang Mencintai Bunga-Bunga"-nya Kuntowijoyo, "Menangis adalah cara yang sesat untuk meredakan kesedihan". Benar Kuntowijoyo, benar Ibuku, benar pepatah Melayu itu. Untuk menyelesaikan kuliah yang sedih ini, menangis tentu cara yang sesat. Cara yang benar dan tepat adalah menyeselaikannya.

Alhamdulillah. Hari ini, meski dan tentu bukan terbaik tercepat, aku bersyukur karena pada akhirnya diwisuda juga. Sebuah upacara, sebuah ritual, sebuah kenduri yang paling-paling ditunggu oleh setiap mahasiwa berserta ibu bapaknya. Kuucapkan terimakasih banyak pada Ayah dan Ibu. Ayah dan Ibu yang tetap memeluk menciumku, apa pun aku. Kukira meski aku akan berubah menjadi sebatang pohon pisang. Atas segala ketulusan dan pengorbanan Ayah Ibuku sepotong kodak berbaju dan bertopi toga ini kupersembahkan untuknya.

 

Yogyakarta, 3 November 2021.

Komentar

  1. Luar biasa perjuangan anak muda. Alhamdulillah akhirnya selesai juga hingga titik terakhir. Selamat.

    Narasinya apik. Asyik dibaca karena kental dengan sastrawi.

    BalasHapus
  2. Selamat wak, walau berdarah bernanah, yang penting selamat soh bo tujuan, mungkin saat no murih daroh dan nyapu nanah

    BalasHapus

Posting Komentar