“Membaca
Simbol: Satu Anak Panah Sebelas Mata dalam Satu Busur”
Oleh:
Muhyi Atsarissalaf Bin Syamsuir
“Seberapa
jauhkah kita memaknai sebuah simbol sebegitu bermakna pula bagi kita simbol
itu”
sebuah pepatah yang baru saja dipatahkan. Setiap simbol sudah barang tentu
memiliki makna filosofis yang mengambarkan secara singkat tentang tujuan simbol
itu. Dalam hal ini penulis ingin membaca dengan cara penulis membaca, tetang simbol
“Satu Anak Panah Sebelas Mata dalam Satu Busur” berwarna hitam, warna putih
sebagai warna latarnya.
Kiraya tidak adalah
salahnya sedikit kilas balik pada sejarah awal yang merupakan cikal bakal
munculnya simbol tersebut. Pada suatu pertemuan yang terorganisir dan
difasilitasi oleh sebuah wadah merah---yang harum karena ada kembang melati di
dalammnya---, Berkumpullah beberapa orang yang dengan tujuan yang tidak bisa
dikatakan sama, karena pada awalnya mereka memiliki tujuan yang berbeda-beda,
yang jika ditarik pada garis besar mereka memiliki tujua sama. Dalam hal ini penulis
memaknai tujuan tersebut adalah tujuan mencari wadah dan atau masuk wadah.
Dalam waktu yang kalau penulis
tidak silap, berkisar antara dua hari satu malam sampai dua hari dua malam pada
pehujung tahun 2015, mereka disatukan dalam sebuah tujuan yaitu untuk mengabdikan
diri pada agama dan bangsa. Dalam waktu dua hari itulah mereka diajarkan dan
diberikan pencerahan oleh fasilitator dan pemateri tentang beberapa kajian yang
kalau penulis simpulkan; tema besarnya adalah kesepakatan untuk mencerdaskan
demi tujuan kemajuan. Mereka-mereka inilah kelak yang akan menjadi pencetus
cikal bakal lambang itu ada.
Sebelum pertemuan itu
berakhir, mereka yang pada awalnya tadi tidak satu tujuan—namun setelah
disatukan tujuan—membuat sebuah “tanda” bahwa mereka pernah berada dalam sebuah
pertemuan yang menyatukan mereka dalam sebuah ikatan dan tujuan, yaitu dengan membentuk
sebuah perkumpulan dalam rangka menunjukkan manifestasi “harapan” tentang
tujuan mereka kedapannya. Perkumpulan inilah yang nantinya menjadi pemilik simbol itu (sebagaimana yang telah
disebutkan).
Begitulah sekilas
sejarah yang amat singkat dalam upaya memberikan gambaran tetang simbol dan
pemilik simbol yang dimaksud. Dalam penyajian sejarah singkat itu, penulis
sengaja tidak menyebut tempat dan waktu secara spesifik oleh karena satu dan
lain hal. Kalau boleh sedikit membuka celah alasannya adalah untuk melihat
kepekaan pemilik lambang dalam mengartikan dan menjadikan lambang itu dalam
sebuah aksi yang nyata.
Kembali pada pembacaan
makna lambang “Satu Anak Panah Sebelas Mata dalam Satu Busur” sebagaimana telah
sedikit disinggung di muka. Dalam hal ini penulis secara pribadi terlebih
dahulu ingin memaknai lambang itu dengan pendekatan dan cara pandang penulis
pribadi. Yang penulis rasa tidak jauh berbeda dengan makna yang telah
disepakati dalam penentuan simbol tersebut.
Pertama sekali penulis
ingin memaknai warna putih sebagai warna latar simbol tersebut. dalam hal ini
penulis memaknai sebagai lambang bersih, iklas. Sehingga apapun yang tertuang
diatasya harus berdasarkan keilkasan. Yang kedua adalah anak panah, busur dan
kembang melati yang terikat dengan sebuah pita yang bertuliskan yang maknanya
berlomba-lomba dalam kebaikan, yang dalam pemaknaan penulis sebagai sebuah
iktikad baik untuk mengharumkan dengan cara yang cepat dan tepat.
Masih dalam pemaknaan
lambang anak panah, dalam hal ini, anak panah itu digambarkan memiliki sebelas
mata (ujung) namun dalam satu pangkal (tempat anak panah menyangkut dengan tali
busur) yang dalam pemaknaan penulis hal ini menunjukkan bahwa kerja sama,
bergerak bersama-sama, jika semua target (tujuan) telah ditentukan (ikrarkan)
maka sekali tembak kesebelas mata panah itu tepat mengenai target itu. sebagai
ilustrasi dalam menganyomi masyarakat tentu harus ada beberapa target yang
harus diperhatikan, sepeti ekonomi, budaya, politik, agama dan yang laiinya.
Hal ini jika dikaji dari segi objek. Dan jika dikaji dari anak satu anak panah
sebelas mata itu sebagai subjek maka titik tekannya adalah kepada pemaknaan
kekompakan dan berjalan selaras.
Selanjutnya adalah
sebuah busur, dalam pemaknaan penulis ialah merupakan sebuah lambang adanya
sebuah titik berangkat bersama, lebih luasnya adalah adanya sebuah adanya
musyawarah mufakat sebelum meluncurkan sesuatu. Sebagai ilustrasi, dalam
menentukan sebuah pilihan mestilah membahas sebab akibat beberapa pilihan
tersebut, setalah dianalisa baik buruknya, manafaat dan madharatnya, untung
ruginya baru setelah dibuat kesepkatan dalam bentuk muswarah pilihan mana yang
harus dipilih.
Mari pula kita lihat
antara harapan sebuah simbol dengan kenyataan yang dilakukan oleh pemilik
simbol dilapangan. Barangkali cukup kita simpulkan dalam beberapa pertanyaan.
Apakah sudah seperti yang diharapkan? atau malah kenyataanya berbalik dari yang
diharapkan?”. Lalu kapan kita akan meluncurkan anak panah itu atau setidaknya
kita membidik target kemana akan kita luncurkan anak panah itu?. Mungkin
beberapa dari kita sudah melesat dari busur, kita tidak akan pernah tahu jika
kita tidak pernah berbincang “dalam busur”.
Barangkali perlu juga
penulis sampaikan, dalam hal ini penulis memilih kata “simbol” untuk
menggambarkan sebuah “lambang” bertujuan agar lebih bebas dan leluasa
mengungkapkan ekspresi dalam memaknai “lambang”. Hal ini penulis lakukan oleh
karena beberapa dalih selain yang telah disebutkan. Penulis mencoba untuk menerjemahkan
dengan cara pandang pribadi “diluar” arti yang disepakti kelompok. Selain dari
pada itu tulisan ini hanyalah bentuk ekspresi keresahan pribadi penulis selaku
bagian dari anak panah; yang hanya menyangkut pada busur tanpa target. hanya menumpang
nama pada wadah merah.
Yogyakarta, 19 November
2016
Komentar
Posting Komentar