Aku
Adalah Notulen Imajinasiku
Oleh:
Muhyi Atsarissalaf Bin Syamsuir
Suara
senapan yang keluar dari mulut anak-anak itu mengingatkan aku dengan banyak
hal, kadang aku merasa iri juga dengan bebasnya mereka dalam mengekpresikan
imajinasi kecil mereka. Suara senapan dari berbagai jenis keluar dari mulut
mereka, suara itu keluar satu persatu sepertinya sedang menirukan suara pistol,
kadang suara itu tak henti-henti hampir setengah menit lamanya, aku menebak itu
pasti sedang menirukan suara senapan minimi. Kadang suara tunggal tapi bunyinya
sangat deras juga terdengar, untuk menebak suara senjata jenis apakah itu
terlebih dahulu aku harus beradu dengan beberapa opsi dalam fikiranku. Hanya
ada dua opsi, yaitu suara bom rakitan atau granat.
Seolah-olah
anak-anak yang masih kecil itu sengaja dikirim malaikat untuk mengingatkan aku
tentang banyak hal. Tentang banyak kenangan, sampai aku juga berfikri anak-anak
itu juga salah satu korban trauma konflik berkepanjangan sperti ku. Padalah
jelas tidak, karena anak-anak itu lahir pada satu dekade akhir tahun 2000an.
Aku
harus mengakui, anak-anak itu mengajarkan ku banyak hal, sepertinya aku harus
berterimakasih pada mereka. Mereka mengingatkan ku dengan imajinasi yang sedang
menggumpal di dalam kepalaku ini, mereka seolah memaksa ku untuk mengekpersikan
imajinasi ini, ekperesi mereka ketika menirukan suara senapan seperti yang ada
dalam fikiran mereka jelas membuat ku ingin bangkit dari panggung lamunanku.
Aku ingin seperti mereka yang bebas mengambarkan fikirannya di dunia
nayata. Mereka seolah sedang
menyampaikan kepada ku, seolah-olah begitu mudahnya untuk mengekpresikan
fikiran.
Tetapi
kalau untuk mengekpresikan sebagaimana mereka mengekpresikan iamajinasi mereka
itu tentu aku harus mengakihiri ekpresiku ini di rumah sakit jiwa atau di dalam
pasungan. Karena bisa jadi aku dianggap gila. Aku memayangkan ketika aku
berlari-lari di pematang sawah, dengan suasana yang sangat lawas dan berteriak
sesuka hati.
Sejenak
aku berfikir lagi, bagaimana aku bisa mengekprsikan imajinasiku itu, setelah
satu batang rokok habis di asbak tanpa dihisap kecuali hanya tiga kali, yaitu
ketika menyalakan, ketika sadar rokok sudah habis setengah dan ketika api rokok
sudah membakar filternya.
Aku
membuat keputusan untuk memulai menuliskan imajinasiku itu dalam bentuk apa
saja, yang terpenting adalah tuliskan saja.
setelah pengadilan negeri fikiranku memutuskan aku harus menuliskan
imajinasiku itu, akupun memulai menuliskannya. Tetapi belum satu baris yang aku
tulis aku sudah menghapusnya, setelah aku menghapus aku menulis kalimat yang
sama dan menghapusnya lagi, kira-kira setengah jam aku duduk didepan lettop
hanya menulis kalimat “berwal dari imajinasi” lalu menghapusnya dan
menuliskannya lagi.
Pada
saat itu aku merasa fikiranku sangat buntu tidak seperti ketika aku berangan-angan
sebelum menulis, sebelum menulis aku sudah memiliki banyak angan-angan. “Jika
aku menulis nanti aku akan menulis tetang banyak hal, tentang kampungku,
tentang kehidupan bapakku yang baru pensiun, rasanya aku ingin membuatkan
sebuah buku untuk beliau tentang perjuaangan beliau mengajar sampai terakhir
kalinya.” Begitulah angan-anganku sebelum menulis, sangat banyak, mungkin kalau
memang angan-anganku itu bisa aku tuliskan sudah menjadi dua atau tiga jilid
buku. Tapi sayangnya itu hanya ada diangan-angan.
Pada
saat mulai menulis angan-angan itu seakan tidak pernah ada, semuanya hilang. Jikapun
ada mereka bagaikan burung yang terbang bebas, sangat sulit untuk ditanggkap.
Semakin aku mengejar mereka, mereka semakin menjauh, ketika aku tidak memainkan
jari-jari ku diatas keyboard lagi mereka semua datang berbondong-bondong dalam
fikirkanku.
Tidak
kehabisan cara aku mencoba untuk mulai bersahabat dengan mereka para imajinasi
dan angan-anganku itu, seolah mereka adalah bagian lain dari kehidupanku,
seperti mengenal orang baru, pertamanya aku harus berkenalan dengan mereka
semua. Setelah mengenal mereka akupun mencoba untuk mengawali perbincangan
dengan mereka, aku berbicara sendiri didepan perekam suara sehingga aku difikir
gila oleh adikku, karena berbicara sendiri, aku mebuat pertanyaan dan aku juga
yang mebuat jawabannya.
Setelah
aku mengawali pembicaraan dengan mereka, barulah merekapun mulai berbicara tapi
masih dengan rona malu-malu, segan, ada pula mereka dalam wajah takut. Setelah
mereka memulai berbicara aku hanya diam sebagai pendengar, apakah mereka
mengetahui atau tidak, diam-diam aku juga bertindak sebagai notulen bagi mereka
para imajinasi dan angan-anganku. Sangat sulit untuk terang-terangan meminta
informasi dari mereka, mereka bagaikan buronan yang lama tidak tertangkap,
untuk berbincang saja aku harus masuk dalam dunia mereka dan menyamar menjadi
mereka.
Setelah dua jam duduk mendengarkan perbicangan
mereka yang banyak jedanya itu akhirnya aku dapat menuliskan hasil perbicangan
mereka dalam cerita ini. Lihatlah akhir cerita ini tidak jelas dan rancu
bukan?. Kadang begitulah mereka dalam menyampaikan informasi, sangat sulit
untuk dibahasakan apalagi untuk dituliskan. Tapi jangan pernah berhenti untuk
menuliskan mereka, karena dengan seringnya mengenalkan mereka pada banyak
orang, mereka akan semakin terbuka untuk berbicara dan bercerita. TAMAT
*Apakah
engkau masih dikoyak-koyak judul?
Lawe
Sawah, 22 Julis 2016
Komentar
Posting Komentar