Petuah Nenek dari Dunia Dongeng

Petuah Nenek dari Dunia Dongeng
Oleh: Muhyi Atsarissalaf Bin Syamsuir
Mungkin sebuah kebanggaan bagi seorang nenek ketika ia bisa mencuri perhatian cucunya yang masih kecil dengan diceritakan dongeng. Cucu yang nakal dan liar, lompat kesana kemari bagaikan anak kambing yang masih kecil atau sperti apa yang diibaratkan oleh orang suku kluwat yaitu bagaikan ulat nangka yang tidak bisa diam, terus bergerak seperti tidak ada letihnya. Sampai-sampai orang yang melihat pula yang merasa keletihan, untungnya saja nenekku tidak sampai pingsan karena keletihan melihat segala tinggkah dan lakuku dahulu yang dalam pandangan orangtua sekarang sebagai anak yang aktif.
Pada tempoe doeloe mungkin belum begitu familiar tentang kata-kata “anak yang aktif atau cucu yang aktif” di kalangan para nenek-nenek. Yang ada anak yang dinilai aktif pada masa ini bisa jadi pada masa tempoe doeloe dianggap sebagai anak nakal, mungkin nakal dan aktif itu adalah persamaan yang berbeda.
“anak aktif dan anak nakal” sebuah bahasa yang cocok untuk diterjemahkan kembali. Baiklah aku akan mencoba untuk menerjemahkannya. Anak aktif adalah anak yang nakal tapi tidak dalam kategori nakal dan anak yang nakal adalah anak yang aktif tapi termasuk dalam kategori nakal. Terjemahan demikian tidak akan suadara dapati dimanapun kecuali dalam cerita ini, karena aku memang tidak khusus untuk membuat definisi tentang anak aktif dan anak nakal dalam cerita ini, jadi jika tidak ada referensi, barangkali saudara dapat menambahkannya sendiri.
Aku teringat dengan masa kecil ku dahulu yaitu pada dekade akhir tahun 90-an. Pada masa itu belum dikenal banyak teknologi, bahkan dikampungku handphone genggam saja masih sangat langka dan bisa dikatakan tidak ada. Hanya ada ekpektasi atau tiruannya saja yaitu sesuatu yang dikatakan hendphone tapi hanya bentuknya saja. tapi pada dasarnya itu bukanlah handpohe melainkan hanya sebuah mainan yang jika diketekan tombolnya maka akan mengeluarkan suara seperti lagu.
Masih dalam lingkaran hendphone mainan itu, aku teringat ketika kita menekan tombol salah satu tombol yang ada pada handphone mainan itu maka akan mengeluarkan lagu yang dalam pendengaran kami ketika itu liriknya begini “Aaa ii ya ya, bang joni makan tupai” lirik itu diualng berkali-kali.
Mendengarkan suara atau lagu yang aneh dari handphone mainan itu saja rasanya sudah sangat hebat dan banngganya. Serasa disitulah letak kebahagian itu. Karena keberadaan handphone mainan semcam itu bisa dikatakan dalam radius lima kilometer baru ada satu. Jika ukuran kampung ku tidak lebih dari dua puluh kilometer berarti jumlah handphone mainan itu tidak lebih dari lima unit saja. hal itu tidak sebanding dengan angka kelahiran anak pada masa itu, yang dalam satu pasangan suami isteri bisa dianugerahi dua sampai empat anak dengar umur bertingkat selang setahun.
Aku tidak tahu persis lirik lagu itu bagaimana, tapi karena sudah biasa diucapkan demikian, entah kenapa suatu keharusan bagi anak-anak termasuk aku pada masa itu untuk menirukannya tanpa ada perubahan atau pemabaharuan lirik. Sampai sekarang aku juga belum tahu bagaimana lirik sebenarnya lagu dalam handphone mainan itu. Dalam rasa penasaran yang sangat mendalam aku mengubur dalam-dalam rasa itu, karena masih sangat sulit untuk mencari data yang falid terkait lirik lagu dalam handphone mainan dekade akhir tahun 90-an itu.
Hampir saja aku lupa, baiklah kita kembali fokus pada judul cerita ini yaitu tentang pembaca dongen atau penulis dongeng. Judul ini sengaja saya pilih untuk mengingat jasa pahlawanku pada masa dahulu seperti yang ada dalam lagu pada masa ini. “Nenekku pahlwanku”, aku teringat kebiasan nenekku ketika aku kecil dahulu yaitu selalu mendongeng sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.
Sejak kecil aku sudah sering ditinggalkan oleh bapak dan ibuku, ibuku adalah seorang guru honorer ketika itu yang harus berangkat pagi-pagi sekali begitu juga dengan bapakku hanya saja beapakku ketika itu bukan lagi guru honorer melainkan sudah dianggkat menjadi pegawai kelas rendah tapi sudah bisa menjadi kepala sekolah. Namun setidaknya lebih tinggi dari pegawai yang lebih rendah dan lebih rendah dari pegawai yang lebih tinggi.
Sejak ibuku berangkat kesekolah, aku selalu ditinggal bersama nenek dan kakekku dirumah. Seketika ditinggal pergi seketika itu pula nenekku mulai mencuri perhatianku dengan cara mendongeng yang dalam bahasa kluwatnya adalah “sukutan” untuk mengalihkan perhatianku terhadap ibuku agar aku tidak ikut kesekolah. Aku teringat ketika itu nenek ku sering bercerita tentang tokoh dongen yang sudah sedikit lupa aku siapa-siapa saja, yang setahu ku adalah Pak Pandir dan Pak Belimbing. Tapi kalau untuk cerita kancil, sepertinya cerita itu memang sudah termasuk kurikulum bagi para nenek di masa itu bahkan mungkin sampai sekarang. Tapi aku belum berani untuk menebak apakah cerita kancil dan kawan-kawan akan masih menjadi kurikulum untuk nenek di masa depan.
Mungkin untuk menceritakan sebagaimana yang nenekku dahulu ceritakan aku memang kurang cakap melainkan hanya sedikit saja. tapi pesan dari cerita itu ternya baru dapat ku sadari ketika umurku sudah menginjak 20-an. Aku teringat dengan setiap cerita yang bertema “merantau” pasti pada akhir cerita siperantau diminta pulang kekampung halamannya untuk melihat ibunya. Cerita itu mirip dengan cerita malinkundang tapi dalam tokoh yang berbeda, namun pada intinya setiap perantau yang tidak mau pulang kampung pasti kena bala, entah itu dimiskinkan, tertimpa batu dan yang paling sering adalah terkena kutukan.
Mengingat pesan dongeng nenekku dahulu kadang aku tertegun dalam lamuan, aku melihat diriku yang seorang perantau juga, aku terus membayang-bayangkan bagamana akhirku nanti. Apakah aku akan kembali kekampung atau menetap dirantau orang. Apalagi melihat jaman sekarang pada umumnya perantau sudah enggan kembali kedaerahnya dengan alasan yang paling masuk akal sampai alasan yang tak masuk akan sekalipun. Tapi aku masih teringat dengan pesan-pesan dongeng dari pahlawanku dahulu. Bagaimanapun aku harus tetap kembali, setidaknya hari ini dalam cerita ini aku sudah menyebutkan aku akan kembali. Dengan seizin-Nya aku akan kembali.
Walaupun dikampungku aku belum bisa melakukan seperti yang orang lakukan terhadap kampungnya tapi setidaknya aku sudah berani kembali, walau hanya sebagai pembaca atau penulis dongeng lawas saja. Tanah kelahiran harus diceritakan kepada setiap orang, walaupun orang kadang merasa malu mencertikan tempat masa kanak-kanaknya yang dipelosok tapi aku mencoba menjadikan itu sebagai seseuatu yang sangat dirindukan. Karena aku pergi ialah sebuah kesadaran untuk kembali.
Kitapun sudah dangat dewasa untuk menafsirkan “kembali” itu bagaimana mestinya. Jika pergi satu genggam beras harapan kembali membawa satu bambu, seperti kata bapakku “jangan halaman orang saja yang kau bersihkan sampai halaman sendiri menjadi semak belukar”. Jikapun raga ditakdirkan untuk mati dan terkubur ditanah rantau tapi jiwa kita berada ditanah suku, untuk membangunkan saudara kita yang masih terlalu lelap tidur dalam tumpukan jerami itu.
*Mungkin engkau masih terkoyak-koyak judul
Lawe Sawah, 24 Juli 2016

Komentar