Kamar
Losmen No 10
Oleh:
Muhyi Atsarissalaf Bin Syamsuir
“Tuiing tuiing”
lettopku bersuara. Menandakan sebuah chat masuk. Aku yang sebelumnya sedang
mencari nama facebook kawan satu sekolahku dahulu segera beralih untuk membuka
chat itu. Dengan kuliatas sinyal yang memprihatinkan, sehingga untuk membuka
satu pesan saja aku harus menunggu beberapa detik, setelah lebih kurang dua
puluh detik tanda loading itu berputar-putar, aku baru bisa membuka pesan itu.
“Oke. Boleh. J”
Una menjawab chatku beberapa menit yang lalu.
“Siaapp, buat terus grubnya”.
Kataku membalas pesan Una yang singkat itu.
“Ahh.. Ndoro aja yang buat”.
Jawab Una mengembalikan seruan ku. Tidak memperpanjang percakapan akupun
langsung meng-iya-kan saja.
Jam
telah menunjukan pukul 00:50, satu menit lagi menuju satu jam pergantian hari
minggu menuju satu jamnya hari senin. Aku masih duduk di warung kopi dekat
sebuah persimpangan sebuah jalan lintas Sumatra. Suasana persimpangan yang
awalnya tadi sangat ramai dilalui kenderaan kini menjadi sunyi, sehingga aku
bisa menghitungnya dalam perkiraan. Mungkin dalam rentang waktu tiga puluh
menit hanya ada sepuluh kederaan yang lewat.
Percakapanku
dengan Una sepertinya harus berakir, sepuluh menit sudah aku menunggu ternyata
Una tidak membalas atau mengirim pesan lagi. Aku pun membuka tab baru, aku
mengetik “youtube.com”. Memang sudah kebiasaanku ketika tidak ada lagi yang
mengirimkan pesan dan tidak ada pula pemberitahuan facebook yang masuk kecuali
tanda like. Biasanya aku menghabiskan waktu diwarung kopi sambil menonton
youtube.
Biasanya
aku hanya membuka video klip salah satu musisi favoritku yaitu Iwan Fals. Pada
kolom cari aku langsung menuliskan “ Iwan Fals Lingkaran Hening”. Sambil
mendengarkan lagu teresbut aku juga mengikutinya dengan suara yang hanya
tersedang antara jarak hidung ke mulut. Sehingga jika orang di sampingku yang
mendengar mungkin mereka mengira aku sedang sesak napas, karena suaraku
terdengar gemanya saja. Sambil membuka youtube aku juga membuka blogku, sambil
membaca ulang postingan-postingan beberapa bulan yang lalu.
“Bg.!! Kopi hitamnya tambah satu
lagi, gulanya sedikit saja ya” aku memesan kopi lagi
padahal sebelumnya aku sudah menghabiskan tiga gelas kopi. Suasanapun terasa
semakin sepi dan sunyi.
“ktikkk..ktikk..tikkk”
suara tombol keyboard lattop salah satu pelanggan yang duduk tepat di depan ku,
matanya fokus ke layar monitor, sesekali dia melihat ke kiri tanpak
memperhatikan jalanan yang sunyi itu. Aku mulai berfikir tentang apa yang di
tulisnya. Dalam asumsiku dia sedang menulis status alay atau status galau,
karena raut wajahnya sudah cukup untuk menjelaskan apa yang sedang di tulisnya.
“Ehhhmm.. Ehhmmm” Sebuah eheman yang aku
tahu itu adalah disengaja, tanpa melihat siapa yang mendehem, aku langsung
meliht kearah jam diding yang tertempel diatas telivisi waraung itu. Saura
detak jarumnya semakin deras saja, menambah suasana menjadi semakin mistis,
pelangganpun mulai menampakkan matanya yang sayu, pelayan waraung itupun telah
menampakkan kalimat pengusiran dengan cara mendehem dan membisu.
Aku
lihat jam telah menunjukkan pukul 2:30, aku langsung menutup lattop ku tanpa
memetikannya terlbeih dahulu, lettop aku masukkan dalam tas. Sambil
mengeluarkan satu batang rokok dari bunggkusnya.
“Kreeiik,,
Kreeiik” suara korek api, sebelum membayar ke kasir aku mengidupkan rokok
dulu, akupun bangkit dari meja tempat
duduk ku, dengan keadaan meja yang sudah sangat amburadul dan kotor oleh
tumpahan kopi dan kulit kacang.
“Bang. Berapa semua?” Tanyaku pada penjaga
kasir itu.
“Apa aja Bang?” Penjaga kasir itu
bertanya kembali.
“Kopi tiga, kacang lima” Jawab ku
“Lima belas ribu aja bang”. Kata penjaga
kasir itu sambil melihat kerahanku dengan mata yang lumayan sayu, dengan raut
wajah yang dilesu-lesukan. Dalam hati aku berkata “Ahh, aku tahu itu raut
pengusir hama”. Tampa melihat kembali kearah wajah penjaga kasir yang tidak
tampan itu, aku langsung merogoh saku jas ku, pertama aku merogoh saku sebelah
kanan mendapat uang empat ribu, aku merogoh lagi saku sebelah kiri dapat uang
enam ribu yaitu pecahan lima ribu dan seribu.
Aku
berfikir, uang yang ada dalam saku ku hanya sepuluh ribu. Jelas terlihat raut
wajah penjaga kasir itu dengan tabah menunggu, seperti ingin menghalaukan
tangan. Aku rogoh kembali kedua saku itu tapi tetap saja tidak ada. Aku rogoh
pula saku celanaku tidak juga ada, aku sudah berfikir, bagaimana cara
membayarnya ini.
Sambil
melirik jam, waktu telah menujjukan 3:00. Tiga jam lagi pagi akan matahari akan
terbit, aku masih saja merogoh seluruh saku ku, sampai aku harus mengeluarkan
kembali isi tasku, petama aku mengeluarkan baju, setelah aku periksa ternyata
memang uang ku tidak ada lagi. Aku sempat kebingungan sembari menyembunyikan
tatapan dari penjaga kasir itu.
Dengan
kepasrahan dan penuh harapan, aku membuka peciku. Dan meletakkannya diatas
meja. Sambil menggarut-garut kepala, dengan wajah keletihan. Aku mencoba untuk
memeriksa dibagian sambungan jahitan peciku itu. namun siapa sangka, peci yang
sudah kehilangan warna hitamnya itu membawa kambali senyum lebar ku, disana
terselip uang seratus ribu.
“Be berapa tadi bang?” Tanyaku dengan
sedikit gagap.
“Ma las” Jawab penjaga kasir itu
menunjukkan “lima belas”. ekpresi yang sangat menyinggung hati dan peci ku,
setelah itu aku langsung menyodorkan uang seratus ribu kepadanya. Setelah itu
aku lihat penjaga kasir itu mengembalikan aung kembaliannya yaitu sejumlah
delapan puluh empat ribu dan tambah permen tiga biji.
Aku
smepat merasa kebingungan, biasanya kalau warung tersebut tidak memiliki uang
pecahan untuk kembaliannya, biasanya mereka memberitahukan terlebih dahulu. Ini
tidak, tanpa ada pemberitahuan sedikitpun.
Aku
menatap mata penja kasir itu dengan dalam, dengan gerakan pelahan aku mengambil
uang kembalian dan permen yang sudah ditelatakkannya di meja kasir itu,
“Sreeekkkk” Suara ketiaka aku mengambil uang itu, menambah keadaan semakin
dramatis saja. Mata penjaga kasir yang awalnya tadi sayu, namun ketika aku
menetapnya tiba-tiba wajahnya lesunyapun berubah menjadi lebih sangar dan
garang.
“Terimakasih” Kata ku, ambil tersenyum
lebar. Kira-kira tiga sampai lima detik dengan posisi bibir terbuka sehingga
tampak gigi ku yang tak lagi putih warnanya. Tampak wajah penjaga kasir itu
diselimut amarah dan rasa bingung yang mendalam, mungkin dia masih memikirkan
motivasi ku memetap matanya secara dalam. Tampa mengiharaukan aku langsung
pergi dari warang tersebut, apakah pejaga kasir itu masih dalam keadaan bingung
aku sedikitpun tidak peduli akan hal itu.
“Jzzzeeettt..jjzzeeett”
Saura motor ku ketika aku menekan tombol starternya, dengan kondisi motor yang
sudah tua namun masih terwat pemakainnya itu. membuat loading untuk
mengiduppkannya lumanyan lama, tapi setidaknya masih dibawah keunggulan
jaringan wifi yang di warung itu tadi.
Setalah
motor ku hidup, aku langsung berangkat, aku berangkat bukan karena ada tujuan,
dalam perjalanan aku masih mencari tujuan. Ada beberapa opsi, yang pertama
adalah rumah sanak ku, tapi karena waktu sudah menunjukkan 3:30 akhirnya aku
memebatalkan rencana ku itu.
Target
selanjtunya adalah mushalla pom bensin. Tanganku menarik gas, kira-kira motor
ku lari dengan kecepatan 80km per jam. Setelah mendekati pom bensin yang
letaknya lumanyan jauh dari waraugn tempat aku duduk tadi, aku melihat lampu
pom tidak hidup, sebuah tanda jam segini mungkin pom juga iukt terlelap.
Akhirnya aku harus membatalkan niat itu juga, walaupun dengan alasan yang sulit
untuk dipercaya, padahal tidak ada salahnya jika aku menginap satu atau dua jam
saja. mungkin bahasa yang lebih tepatnya ialah beristirahat.
Aku
melanjutkan perjalanan ku, masih belum tentu arah. Jalanan juga semakin sunyi,
hampir tidak ada satupun sepeda motor yang lewat. Hanya ada truk ukuran besar
dan mobil rental jurusan Banda Aceh-Medan. Kadang aku berfikir juga, bagaimana
jika ada begal yang membegal ku, dan mengambil motor tua ini.
Dari
kaca spion aku melihat beberapa cahaya dari lampu motor, jarak mereka semakin
dekat saja. ketika itu aku menambah kecepatan motor ku. Namun mereka tetap
masih bisa mengejar. Motor ku sudah habis kecepatan maksimumnya yaitu 100 km
per jam. Sehingga motor-motor yang sebelumnya tadi di belakang ku, kini telah
berbarengan dengan ku. Mereka menyelip dari sisi kiri dan kanan, membuat ku
terkurung dan tak tahu mau bergerak kemana lagi.
Aku
mencuri-curi pandang kearah mereka, aku lihat seseorang yang diboceng oleh
kawanya mengeluarkan benda yang panjang. Aku lihat benda itu seperti sembung
pedang. Aku sudah sangat pasrah. Tidak tahu harus berakata apa-apa lagi. Motor
yang ada disamping ku kini mendahululi ku beberapa meter kedepan, motor itu
mengurangi kecepatannya sehingga akupun terpaksa menguranngi kecepatan juga,
karena jika aku mempertahankan kecepatan ku bisa-bisa aku menabraknya.
Motor
yang berada di depan ku itu, mengurangi kecepatannya lagi dan terus mengurangi.
Mereka seolah memberi ku isyarat agar berhenti, aku hanya mengikuti mereka
saja. ternyata benar merekapun berhenti. Mereka melihat ku dengan senyum dan
akupun melihat mereka dengan senyum, ehh ternyata itu semua hanya bayang-bayang
fikiran ku karena merasa takut sendirian di jalanan.
Sekarang
aku sudah sampai di depan sebuah losmen dekat pelabuhan kapal fery antar
kabupaten. Aku berencana menginap di losmen itu saja, tapi aku tidak melihat
itu bertanda sebuah losmen, pintunya hanya setengah terbuka. Di depan pintu ada
seorang pria tua yang sedang membersihkan lantai, aku berfikir dia sedang
beres-beres untuk menutup.
“Udah tutup pak?” Aku bertanya dengan
logat batak versi nada lembut. Dengan sedikit tekanan pada kata “Pak”nya.
“Kenapa dek, mau nginap?” jawab bapak itu
“Iya, pak.. satu malam berapa
rupanya pak?” aku bertnya menanyakan harga untuk
menyesuaikan dengan kantong.
“Lima puluh dek”. Bapak itu menjawab
lagi.
“Oke dah, gua ambil satu”. Aku memesan
satu kamar. Tiba logat ku berubah menjadi logat betawi, bair agak
Jakarte-jakarte sedikit.
Aku
langsung masuk, sedangkan bapak itu masih melanjutkan pekerjaannya. Aku
memandangi sekeliling ruangan bagian bawah losmen. Ruangan itu sepertinya
warung makan, karena aku melihat banyak meja dan kursi. Aku melihat keatas
sisi-sisi dindingnya yang dihiasi dengan beberapa kumpulan photo ulama-ulama
kharismatik Aceh. Disampingya lukisan kaligrafi Arab yang berbentuk gambar
orang yang sedng duduk tasyahud.
“Dek, kamar nomor sepuluh. Di atas ya”.
Bapak itu memberikan kunci kepada ku yang sedang memerhatikan seluruh ruangan.
Tanpa berkata-kata dengan reflek aku langsung mengambil kunci itu dan berjalan
mengarah ke kamar nomor sepuluh.
“Krekk..
cieeettt” suara pintu kamar ketika aku buka, aku memerhatikan dinding kamar
yang sempit itu, diding kamar yang sangat banyak coretannya. Masih dengan tas
di punggung aku membaca tulisan-tulisan yang ada di dinding kamar itu, ada yang
hanya menulis nama, ada juga yang mengiklankan diri. Salah satunya yang aku
rasa iklan jasa angkat telpon.
“Jika anda sedang galau. Hub: 085270712514”
inilah salah satu iklan dari ukiran tangan di dinging kamar itu. Seperti iklan
sedot WC yang biasnaya tertempel di tiang-tiang listik.
Posisi
ku ketika itu membelakangi pintu, semabari melihat-lihat. Kadang melihat
tulisan yang amburadul itu membuat fikiran ku kosong, tulisan itu yang aku
lihat tapi dalam fikiran ku lain. Di dalam keadaan setengah melamun, tiba-tiba
aku mendengar suara pintu kamar ku diketuk dengan perlahan. Fikiran ku mulai
terbayang-bayang. Ketukan itu semakin keras, aku masih belum membukakan pintu,
akupun enggan pula untuk bertanya.
“Dek, buka dulu pintunya”. Suara bapak
tua yang menyambut ku tadi. Aku menarik napas lega, padahal belum pasti yang
mengetuk pintu kamar ku itu bapak tua. Aku membuka pintu dan ternyata benar itu
bapak tua yang menyambut ku tadi.
“Biar bapak bersihkan dulu, adek bisa tunggu
di luar sebentar”.bapak itu mempersilahkan ku untuk keluar sebentar, karena
memang kondsisi kamar yang kecil dan kotor itu agaknya bukan perlu dibersihkan
lagi melainkan juga perlu di chat ulang atau sekalian dibongkar ulang.
“Silahkan dek, kamar mandinya dibawah ya”.
Bapak itu mempersilahkan aku masuk sambil memberitahukan posisi kamar mandi.
Aku
masuk kedalam kamar, aku membuka jas ku dan menggantungkan pada paku yang
disediakan di belakang pintu kamar itu. dengan sedikit sarang laba-laba yang
mengelantung di sudut-sudut kamar, rasanya kamar ini membawa suasana semakin
mistis dan horror.
Aku
duduk diatas ranjang yang kasrunya tidak terlalu empuk, bantalnyapun sudah
tidak kencang lagi. Sepertinya bantal ini tidak pernah diganti semenjak
penjajahan hindia belanda dahulu atau mungkin sejak benua-benua masih bersatu.
Aku
melihat kembali kearah diding yang penuh dengan coretan-coretan itu, coretan
itu jelas datangnya dari pengunjung losmen yang menginap. Mungkin ketika mereka
masuk kamar ini mereka sedang dirundung rasa galau dan bosan yang sangat
mendalam sehingga mereka melampiask rasa itu kepada diding kamar yang tidak
bersalah ini.
Aku
membacanya satu persatu, mulai dari iklan jasa penawar galau sampai biodata
siswa sekolah yang tidak mengerti aku motivasinya apa. Tapi ini jauh lebih baik
dari pada iklan jasa penawar galau tadi, biodata ini lebih menunjukkan bahwa
pernah ada seorang siswa yang juga menginap sdikamar ini selain manusia-manusia
galau seperti ku.
Aku
memerikasa task u, aku fikir aku membawa pena, rencana ku ingin juga menuliskan
brang satu dua patah kata di dinding kamar ini. Tapi setelah aku lihat ternya
tidak ada alat tulis di dalam tasku, hanya ada lattop. Sejenak aku berfikir,
mungkin ada baiknya malam ini sambil menunggu datanya pagi aku membuat cerita
tentang pengalaman menginap dikamar losmen nomor sepuluh ini.
Tanpa
aku sadari ternyata aku sudah tertlelap dengan posisi lettop yang masih
terbuka, hal itu baru aku sadari ketika aku sudah terbangun karena kepanasan.
Setelah menghidupkan kipas yang sudah sekarat fasilitas losmen, aku kembali
menekan tombol enter pada lettop ku, aku melihat ternyata cerita pengalaman
semalam. Aku mengeleng-gelang sambil tersenyum pada coretan-coretan di dinding
kamar losmen nomor sepuluh ini, tertnyata mereka mengajak ku berimajinasi di
dalam kamar yang sempit ini.
*Masihkah
anda dikoyak-koyak judul?
Labuhan
Haji, 1 Agustus 2016
Komentar
Posting Komentar