Kota di atas Awan dan Kau Begitu Dingin





Kota di atas Awan dan Kau Begitu Dingin
Oleh: Muhyi Atsarissalaf Bin Syamsuir

“Ktik..tik..tiik..tiik” suara dari tarian jemari diatas pentas tombol handphone yang masih menggunakan model tombol non qwerty. Sesekali suara kecil yang hanya terdengar dalam jarak yang sangat dekat itu berhenti, sebuah tanda sedang memikirkan sesuatu untuk dituliskan.

Posisi mata hari yang tak lagi tinggi, cahaya yang garang di siang tadi kini mulai menunduk menuju senja, warna langit terlihat mulai memerah. Suara burung yang riuh tadi pagi, sore ini mulai senyap sendiri kecuali sesekali saja terdengar dari kejauhan.

Pantulan warna senja yang menerpa danau ini seperti lukisan diatas kanvas raksasa menambah suasana senja kali ini menjadi senja yang sangat dirindukan, apalagi dengan setting certia sedang menunggu kekasih atau mengandeng tangannya mengintari tepian danau ini sambil menunjuk warna awan disudut barat itu sembari menerjemahkannya dalam puisi.

Agaknya settingan untuk cerita romantis pada senja kali ini belum diizinkan, mungkin pepohonan tepian danau ini masih terlalu kecil pokonya untuk menahan dua punggung yang untuk bersandar. Deduanannya juga masih belum terlalu rimbun menyembunyikan kemesraan dari mata cahaya senja ini. Tampaknya bebatuan kecil ini juga masih belum memiliki banyak pilihan warna untuk mengukir sebuah lukisan diatas batu besar yang datar ini--untuk mengabadikan sebuah kisah yang romantis.

Jauh panggang dari api begitulah kata pepetah orang tua dahulu, begitu pula senja kali ini, lain diharap lain dinyata. Kedaan ini sangat berbeda, aku hanya berjalan dengan hanphone ukuran kecil digenggaman sebelah kanan dan jari tangan sebelah kiri menjepepit rokok yang sudah hampir mengenai filternya. Bebatuan kecil itu  sepertinya sengaja hanya berwarna hitam dan kelabu, apakah ini gambaran dari kerisauan dan kesuraman.

Beberapa waktu yang lalu mungkin aku masih bisa berjalan bersama imajinasi, membuat tawa digaris-garis langit senja atau hanya sekedar membuat coretan kecil yang tak terlalu indah diatas air danau yang tenang itu. tapi kali ini aku hanya terdiam menunggu calon kekasihku memulai perbincangan lewat sms atau hanya mengirimkan sms “Apa kabar?”

Warna seja semakin merah saja, ditambah dengan tiupan angin yang sesekali mengingatkan aku tentang kesejukan, kesejukan mungkin yang tak ubahnya hanyalah sebuah kata yang lebih indah untuk tidak mengatakan dingin. Mungkin begitulah yang aku rasakan kali ini, masih belum berani mengatakan sesuatu apapun kepada calon kekasihku yang sangat dingin itu.

Setiap kalinya harus aku yang memulai perbicangan dengan basa basi yang sudah sering aku ulangi tanpa perubahan. Percakapan kami yang hanya bisa melalui sms itu tidak ubahnya mengulangi kata-kata yang sama setiap kalinya. Ternyata seperti itulah rasanya ingin tapi tak diingini.

*Bersambung 

Komentar