Lamunan Penyair SKK





Lamunan Penyair SKK

Oleh: Muhyi Atsarissalaf Bin Syamsuir

Memang tidak ada salahnya ketika ia memilih untuk mengunggkapkan “matanya” dengan caranya sendiri. Ia sangat sulit dimengerti, bahasa yang ia gunakan sebenarnya tidaklah tinggi melainkan teramat dalam. Ia hanya menyebut beberapa dari kulit luar suatu peristiwa yang ia lihat, bukan enggan atau tidak mau menyebutkan apa yang dibungkus oleh kulit luar itu, dalam dirinya ada rasa takut untuk menyebut, yang dalam anggapannya “tidak sepantasnya ia menyebutkan”. 

Agaknya sulit untuk meminta ia secara terang-terangan untuk menyebutkan tetang yang ia sebut, tentang nama yang ia namakan, bolehlah kita menjumpai pada lamunanya, tanyakan tentang lamunannya, apa sebenarnya yang sedang ia lamunkan. Terkadang kita ingin mendalami apa yang ia maksud tapi enggan masuk kedalam maksudnya, kita meminta tapi kita memakasnya untuk memberi. Hal demikian sangatlah melukai hatinya, karena dalam standar meminta baginya adalah ketulusan bukan karena ada paksaan.

Kerap sekali ia berujar beberapa kalimat yang sangat singkat, namun dalam kalimat itu ia menyembunyikan banyak sekali paragraph, namun ia kesulitan dalam menuliskan paragraph-paragraph itu. Ada pula saatanya ia menuliskan sesuatu yang panjang lebar, namun siapa sangka ia sedang menyembunyikan satu atau dua kata saja.

Setengah orang memang memberikan tepuk tangan ketika ia memberikan kalimat-kalimat pendek itu, tapi ada pula orang merasa tidak puas dengan kalimat yang sesingkat itu. Ia datang dengan coraknya, bukan tidak ingin hadir dengan corak yang sedang dipakai dan dimaklumi orang lain, pada dasarnya ia sedang menunjukkan bahwa ada corak yang lain yang tidak boleh “dimatikan”. Namun yang sangat disayangkan, ia sangat jarang sekali menjelaskan tentang corak yang ia kenakan sebelum orang bertanya kepadanya, maka wajar orang meletakkan ia “di luar”.

Ia memang sangat kesulitan berdamai di dalam kedamiaan, ia berberlit dalam memaknai damai itu bagaimana, pada dasarnya logika simpel yang kerap ia kenakan telah memberi ia sedikit jalan, tapi dalam keadaan tertentu ia akan merasa sangat tertekan dengan yang simpel-simpel itu. semenjak alam fikiran ia tidak bisa berdamai, fikirannya selau saja membuat peperangan layaknya dalam satu kepala bisa jadi ada sepuluh leher yang menopangnya.

Seperti sebuah mulut yang memiliki banyak tenggorokan, lewat lobang tenggorakan manakah makan itu ia antarkan menuju perut. Jika kita hanya melihat pada tujuan “perut” maka kita agaknya salah, karena dalam “alamnya” tenggorokan yang mana pun mesti jadi suatu pertimbangan.
Dalam menanggapi permasalahan yang nyata, ia kerap mengambil jalan yang tampaknya tidak nyata, ia berasumsi karena yang ia hadapi menyangkut tentang kenyataan maka ia harus mencari sesuatu yang tidak nyata, yang jika boleh kita simpulkan pada daratan maksud, sebenarnya ia sedang membuat “kebohongan” yang menuntut “pembaca” agar lebih jujur.

Memang sangat sulit medalami arti dari sebuah kata, apa lagi kata itu berasal dari “alam sana” yang secara perasaan ia lukiskan. Sebagaimana sulitnya memaknai sebuah lukisan yang carut marut, setengah orang hanya bisa akan menyimpulkan “ini adalah kecarut-marutan”, memang tidak ada salahnya memaknai demikian tapi jika kita bertanya lebih lanjut barangkali jawabannya aka lebih luas dan berbeda, misalnya ia akan mejelaskan tentang maksud beberapa warna yang ia yang ia kenakan, tetang posisi warna, tetang warna yang tidak ada namanya dan masih banyak lagi. Kalau boleh kita mengambil kesimpulan, barangkali ia sedang mengajak orang yang melihat lukisan itu untuk bertanya secara tulus dan tidak menebak-nebak begitu saja.

Barangkali kebanyakan orang ingin berbicara kepada orang yang terkenal, misalnya dalam sebuah band mungkin orang lebih memilih untuk berbicara pada vokalisnya, tapi dalam arus yang berdesakan itu ia kerap memilih jalan yang lebih tenang, seperti memilih berbicara pada yang meniupkan suling yang kadang ada kadang tidak, ia ingin melihat suatu keindahan yang bulat dari partikel yang terpecah-pecah.

Ia tersendat pada bingkai “mimpi” tapi ia masih sangat sulit untuk bangun dalam mewujudkan mimpi itu, terlalu banyak angannya tapi kerap tak satupun yang ia laksanakan, terlalu banyak keinginannya tapi masih saja enggan mencoba mencapainya. Simpelnya ia tersendat pada tingkatan eksekusi, ibarat suatu rancangan misi yang sangat bagus dan tepat tapi tidak ada prajurit yang melaksanakannya.

Ia kerap melamun, dalam lamunan itu pun masih ia sempatkan untuk melamun dalam kesempatan melamun itupun ia sedang membayagkan sebuah lamunan. Ibarat pantulan suatu objek yang berada ditengah-tengah enam cermin yang berbentuk kubus. Namun bedanya, pantulan benda pada cermin yang satu harus memiliki “perbedaan” dengan cermin yang lainnya, padahal jika pada kenyataan itu tidak akan bisa, mungkin ini seperti seseorang yang sedang berbicara dengan bayangannya dicermin yang pada hakekatnya ia sedang berbicara dengan dirinya sendiri.

Begitulah seorang penyair melamun, berbicara, berujar, kerap tidak ada sesuatu yang ia sampaikan kepada orang lain kecuali orang yang ia sampaikan menyampaikan kembali padanya. Seperti seorang yang memberikan pisau pada musuhnya dan menyuruh musuhnya untuk menghabisi nyawanya, padahal yang ia maksud bukanlah untuk menghabisi nyawanya, pada dasarnya ia sedang ingin bertanya “dengan keadaan ku yang seperti ini masihkah engkau akan membunuh ku?”.

Jika kita beranikan diri untuk menarik pada keadaan yang lain, misalnya dalam keadaan ia sedang sangat kacau dan bergembira, ia mengeluarkan banyak sekali “sampah dan mutiara” dari kepalanya dan seoalah tampaknya ia sedang memberikan “kata-kata mutiara” dan “kata-kata sampah” kepada orang lain. Namun maksudnya yang ingin ia katakan barangkali “ajari aku dengan kata-kata indah ku dan ketika aku semakin kurang ajar boleh kembalikan semua sampah itu kepada ku”.

Terkadang ia merasa tersanjung, ketika orang yang bebicara dengannya mengutip sedikit bahasa darinya, misalnya “mengutip dari bahasa fulan ben fulen”, ia merasa tersanjung harapan kita semoga ia tak lekas tersadung sanjung. Rasa sakit ketika terjatuh baginya adalah ketika terjatuh oleh sesuatu yang mestinya tidak membuatnya jatuh itu jauh lebih menyakitkan dari pada ketika ia terjatuh oleh sesuatu yang biasa mebuat ia terjatuh.

Pernah suatu ketika ia berbicara tentang seuatu yang bisa membuatnya jatuh, tapi orang yang mendengar pembicaraannya itu tidak menggap sebagai sesuatu yang membuat ia jatuh. Orang itu selalu menyodor-nyodorkan hal itu hingga ia terjatuh. Orang kebanyakan tidak tahu ia sedang terjatuh karena tampaknya ia sedang bangkit, padahal itulah tanda bahwa ia sedang terjatuh. Seperti seorang majnun yang jatuh hati pada si laila terlihatlah oleh orang ia sedang membangun cinta. Begitupun dengannya, ia terlihat sedang membangun padahal ia sedang terjatuh.

Sepertiga malam ia tak sempat berbaring bukan karena alasan sedang berdiri, rukuk dan sujud. Ia hanya duduk tanpa apa pun, ketika pagi membangunkan ia mulai membaring menggantikan hak malam yang ia sita degan hak pagi yang semestinya harus ia terima. Itulah kecelakaan yang sangat sulit untuk ia terima tapi telah menaiki pundaknya, kurangnya rasa syukur dengan nikmat, ia kerap memperbudak alam dirinya dan alam fikirnanya dengan membuatnya seperti raja. Namun ia masih sedikit beruntung di dalam ruangan kecil dalam hatinya masih ada sedikit “cahaya”, cahaya yang sedikit itulah yang membibing ia untuk menyebut-nyebutkan betapa berharga dan pentingnya “cahaya” itu, cahanya yang sedikit itulah yang ia sampaikan kepada orang-orang agar tidak terlalu lama dalam keadaan tanpa cahaya.

Jika kita kembali pada maksud yang ingin ia sampaikan, sebagaimana yang telah kita singgung pada paragraph terdahulu, pada dasarnya ia sedang ingin menyampaikan “aku kehilangan banyak cahaya, dengan cahaya yang sedikit ini terangilah aku dari ketidaan cahaya”. Ia memang bukan orang yang bertekat kuat dalam mencari cahaya tapi ia tidak menolak jika ada yang datang meniupkan angin cahaya kebulu lehernya.

Sekali waktu ia pernah takut akan ketakukan orang datang untuk meniupi bulu lehernya, karena tampak matanya melotot seperti sedang marah, mukanya memerah. Hal itu telah ia sampaikan pada bait-bait puisinya “jangan pernah takut ketika aku menakuti-nakuti mu, jangan pernah berhenti ketika aku mulai memarahi mu, lakukan saja. katakan aku menyuruh hal itu”. Jika kita kembali pada maksud awal “…kalimat yang sangat singkat, namun dalam kalimat itu ia menyembunyikan banyak sekali paragraph, …Ada pula saatanya ia menuliskan sesuatu yang panjang lebar, namun siapa sangka ia sedang menyembunyikan satu atau dua kata saja…” Kiranya kita sudah dapat menebak maksud dan tujuan tulisan ini. Jika kita berani menyimpulkan barangkali tulisan ini akan ditutup dengan “Ditanganku ada benang yang kusut dan berbelit rumit, tapi aku masih memegang entah pangakal atau ujungnya, kesinilah bantu aku mengurainya”.

Yogyakarta, 30 September 2016

Komentar