“Logika Dialektika”
Lukisan se-batang Hindung Manusia
Oleh:
Muhyi Atsarissalaf Bin Syamsuir
Barangkali memang sudah
demikian mulut wajah dan mulut tangannya dalam menyampaikan perkara dan cerita,
tidak mendetil pada intinya. Hanya sebagian kulit luarnya yang ia tampakkan. Bukan
tanpa alasan, akibat traumatis yang terlalu mendalam membuatnya takut banyak menyebut.
Bayangkan saja, tidak kurang dari tiga tahun keadaan yang mencekam terus saja
ia rekam, hampir setiap hari setidaknya setiap minggu dentuman ini menjadi
sesuatu yang pasti ia dengarkan.
Lihatlah kesehariannya
di dunia bagian lain itu, ia tidak mengerti mengawali sebuah cerita, kerap ia
megawali dari akhir atau dari tengah cerita. Ia pun tidak cakap untuk menhentikan
cerita itu di mana. Keadaannya seolah merdeka padahal dalam nyatanya ia
terhimpit-himpit dan diikat beberapa rantai, ia masih terbelenggu.
Sangat rugi jika kita
bertanya tentang siapa “dia” yang ia maksud. Karena jika ia akan menjawab dengan
perumpamaan-perumpamaan yang sangat aneh dan tidak ada hungannya. Bagaimaa mungkin
seseorang dibiaratkan dengan anak kancil atau binatang yang lainnya. ia bukan
melihat pada sifat, bukan melihat pada bentuk, ia melihat pada apa yang ia
lihat, sebuah cara melihat yang berbeda dengan cara orang lain pada umumnya
melihat.
Ia berfikir di balik
tabir, tapi ia tidak pernah bercerita tentang bagaimana keadaan dibalik tabir,
ia memiliki ilmu yang sulit untuk ia sampaikan. Janga terkecoh ketika ia
menjelaskan denga panjangang lebar, kalaulah berani, coba sesekali kau tanyakan
“pada intinya apa?”. Percayalah ia akan mengulangi apa yang sebelumnya ia
bicarakan.
Dalam hidupnya tidak
ada kesimpulan dari sebuah kerumitan, tidak pula setiap kesimpulan mesti ada
kerumitan. Ia menyimpulkan tanpa perlu melihat beberapa kerumitan, ia lebih
memilih tidak berlari dari pada harus terjatuh, karena dalam hidupnya ia
senantiasa befikir “kalaulah berjalan masih bisa untuk apa berlari”. Sebuah obat
bius penenang kegilaan yang ia racik sendiri.
Cobalah untuk
menawarkan sesuatu padanya, ia tidak akan menjawab dan bertanya lebih dari yang
kita tawarkan. Sebuah alasan “ketika masih bisa hanyut dan tidak tenggelam
keanapa mesti letih-letih mendayung”. Sebuah pribahasa yang satu corak dengan
pribahasa sebelumnya.—Lurus,lurus jika ada tikungan berbelok saja ----- logika
yang tidak pada biasanya, maka wajar dalam matakuliah logika ia tidak pernah
memakai logika.
Ia tidak lantas akan
membunuh corak berfikirnya yang demikian itu, tapi ia mencoba mengembangkannya.
Ia akan mencoba sekuat yang ia bisa untuk tidak tunduk pada logika karangan
orang lain. Karena baginya tuntuk pada logika karangan orang lain hanya akan
membuat dia tidak bisa berbicara, hanya mebuat ia bisu. Padahal ia terlahir
menangis dan masa waktu berbicara ia juga berbicara. Ia tidak mau lumpuh tanpa
kursi roda, karena itu lebih lumpuh dari pada yang lumpuh.
Dalam menebak ia
bagaiama, agakanya perlu memahami kita bagaimana. Karena ia pernah memberi
celah agar orang bisa masuk dalam corak fikirnya. “Untuk memahami orang lain cukup
dengan memahami diri kita sendiri dan menghakimi orang lain cukup menghakimi dari
dirinya menghakimi dirinya”.
Yogyakarta, 15 November 2016
Komentar
Posting Komentar