Dengan Tanpa Menunjuk Hindung, Hidung-hidung Itu Telah Tertunjuk





Dengan Tanpa Menunjuk Hindung, Hidung-hidung Itu Telah Tertunjuk

Oleh: Moehji Ben Sjamsoeir

Saya tertarik dengan jawaban Jasser ‘Audah ketika menanggapi pertanyaan tentang terosisme. Saya kira jawaban yang seperti inilah yang kita butuhkan dan ditunggu-tunggu oleh semua orang.

Ketika itu salah seorang non-muslim warga negara Amerika bertanya. “Bagaimanakah Islam dapat menjadi sebuah jalan hidup yang berakhlak, padahal ia justru mendukung terorisme?”. Jasser ‘Audah mulai menjawab dengan menyebutkan apa yang bukan terorisme, kemudian apa yang merupakan terorisme.

Dalam bukunya Maqasid untuk Pemula dalam versi terjemahan menyebutkan terorisme tidak identik dengan agama mana pun. Adalah tidak adil jika mengaitkan sebuah agama baik Islam, Kristen dan yang lainnya dengan terosrisme. Jasser juga menyarankan agar menggunakan sebuah metode dalam menilai suatu agama dengan membaca kitab sucinya.

Jasser juga menjelaskan perbedaan antara terorisme dan kekerasan, kekerasan adalah bentuk keniscayaan, misalnya ketika ingin membela diri dari kejahatan, kita bisa saja bersikap keras atau bahkan menggunakan kekerasan. Mislanya seseorang yang sedang terancam keselamatannya sehingga hanya memungkinkan jika ia membela diri dengan kekerasan kepada orang yang melakukan kekerasan padanya. Hal semacam ini tentu bisa dibaca dalam konteks tertentu sangat bergantung pada tujuannya.

Jasser mengatakan; namun teroisme tidak demikian, ia menghabisi orang-orang yang tidak bersalah. Jasser juga menyebutkan bahwa pemerintah yang dengan kekuasaanya menindas rakyat adalah bentuk dari pada terorisme. Sekarang kita bisa melihat hal itu, pemerintah negara yang manakah yang megguakan kekuasaanya untuk menghabisi? (Lihat: Jasser. Maqasid untuk Pemula, 2013) 

Kalau boleh saya mengambil kesimpulan, barangkali dengan rasa kagum. Seorang Jasser dengan tanpa “menunjuk hidung” teroris, hidung-hidung pelaku teror itu dengan sendirinya telah tertunjuk. Kita bisa melihat dan merasakan, sekarang pemerintah negara manakah yang acap kali mencampuri urusan negara orang lain, dengan dalih yang amat klasik “pembelaan hak asasi manusia” sehingga porak-porandalah “rumah tangga” orang dibuatnya.

Seorang intelektual yang jujur dengan dirinya sendiri tentu tidak akan mengelak lagi, tidak akan ada lagi cara pandang sinis dengan dunia Timur--dengan berbegai “stempel basah” yang dicapkan kepada mereka--dan pengagungan yang berlebihan terhadap dunia barat. saya yakin kalau kita adalah orang jujur dengan keintelaktualan yang kita miliki pada akhirnya akan melabuh pada keputusan; pemerintah negara manakah yang benar-benar teroris.

Namun dibalik sekian keopitmisan yang kita punya, bisa saja dengan sekejap akan berubah menjadi kepesimisan. Karena kita sedang berhadapan dengan “orang tua” kita, yang cara pandangnya terhadap dunia Timteng dari arah “mata angin” yang kurang tepat. Wajar bila “ilmu pengetahuan” pada akhirnya akan menjadi sebuah doktrin yang paling halus untuk menyudutkan suatu negara korban rezim dan mengurangi rasa empati tehadap para korban (war victim).

Saya tidak tahu, apakah sekarang kita mahasiswa selaku barisan makhluk yang menobatkan dirinya sebagai makhluk yang paling “kritis”; berani mengambil langkah (ataukah memang sudah mengambil langkah hanya saja saya yang kurang membaca) seperti barisan mahasiswa dan intelektual Amerika kira-kira pada tahun 1967-an dahulu. Demi rasa kemanusiaan mereka berani mengecam tindakan pemerintah mereka yang menumpas Vietnam Utara yang kecil dengan mengerahkan pasukan puluhan ribu dilengkapi persenjataan yang canggihnya (lihat: Gie. Zaman Peralihan, 2005)

Yogyakarta, 16 December 2016

Komentar