Kita Mesti Berani Mengambil Langkah




Kita Mesti Berani Mengambil Langkah

Oleh: Moehji Ben Sjamsoeir

Memang tidak mudah untuk berfikir melawan arus, apa lagi jika arus yang kita lawan adalah arus yang secara umum dipercayai sebagai doktrin yang paling benar dan tepat. Ketika kita melawan arus itu berarti kita sedang menentang apa yang sebelumnya telah berkembang sejak lama, setidaknya 14 abad lamanya.

Seiring waktu arus itu semakin deras dan semakin banyak corak dan celaknya. Resiko menjadi tidak polpuler dan harus menerima banyak kecaman dan kutukan adalah hal yang sangat lumrah kita terima nantinya. Namun bagaimanapun, salah satu dari kita harus ada yang duduk untuk mendudukkan hal ini dalam sebuah diskusi yang dalam dan menyeluruh.

Saya pernah bertanya kepada salah seorang—saya mengelarinya sebagai—pencetus resolusi konflik “model baru”, barangkali. Saya bertanya tentang bagaimana kita bisa memberikan pemahaman kepada orang-orang tentang “konflik warisan sejarah” ini, sedangkan target kita adalah orang yang sudah sejak lama memiliki paham demikian, bahwa yang kita sebut sebagai “konflik warisan sejarah” ini, bagi mereka adalah kebenaran sebenar-benar kebenaran.

Begitulah celak itu akan semakin banyak dan beragam, ditambah lagi ketika kita—yang ingin—menghapus celak ini dengan menggunakan celak juga, bukan tidak mungkin niatnya menghapus namun jadinya adalah menambah bentuk celak yang baru. Jika kita tidak jernih dari sekarang, ketika kita tidak bisa memahami orang yang akan kita pahamkan, bukan tidak mugkin kita membuka “produk pemahaman” yang baru dan harus berakhir sesuai dengan minat masing-masing konsumen “pasar pemahaman.” Pada akhirnya kita yang seharusnya menjadi pelarai ternyata harus bertarung keras di “pasar pemahaman”.

Membuat bedungan pada arus air yang amat deras bukanlah perkara yang mudah, karena harus dengan pertimbangan yang termat matang. Seharusya sebelum membuat bendungan yang amat besar untuk arus air yang amat deras itu, alangkah ada baiknya kita membuat saluran baru yang bisa memecah-mecah aliran itu menuju ke bergabai arah. Dan yang tak kalah pentingnya juga adalah setiap aliran air yang baru mengerti bahwa aliran itu tetap berasal dari satu arus yang sama dan akan bermuara pada arus yang sama pula.

Tentu celak yang penulis makasud hanyalah merupakan bentuk ilustrasi untuk perumpamaan saja, selanjutnya kita akan menggunakan ilustrasi juga.

Tidakkah kita mengerti air itu berasal dari air juga, kita boleh saja menggulkan kualitas air pegunungan dengan air suligan air laut. Tapi yang perlu kita pahami adalah “awan” yang mengantarkan air laut menjadi air di pegunugangan, dan kita harus memahami “lereng” dan “aliran-aliran sungai” yang mengantarkan air gunung menuju air laut. Ketika kita hanya berhenti pada pemahaman keunggulan air pegunungan dan kelemahan air lautan, maka tidak akan kita temui titik temunya,. Namun sangat berbeda ketika kita bisa memahami “Awan” dan “Alrian–aliran sungai” atau singkatnya kita sebut; hal itu akan berbeda ketika kita mamahami siklusnya.
Dalam sebuah pribahasa, “Garam di laut, asam di gunung kan bertemu jua dalam belanga” Kiranya pribahasa ini bisa kita pahami dalam bentuk yang lebih luas. Ketika kita sama-sama menguggulkan kelebihan yang kita punya sehingga membuat kita mencela kekurangan yang orang lain punya, maka jadinya adalah orang yang kita cela juga akan mencela kekurangan kita dan menguggulkan kelebihanya. Mengapa kita tidak coba satukan dalam belanga. Belanga abad millennium ini adalah dialog dan diskusi. Ketika keduanya telah menyatu dalam belanga toleransi hasil dari dialog dan diskusi tentu akan memiliki rasa yang lebih sedap dan nikmat. Bisalah kirinya kita sebut campuran garam dan asam itu dengan “Asam Padeh” atau apapunlah. Namun ketika untuk berdiskusi saja kita sudah menolak maka sangat wajar garam akan selalu di laut dan asam akan selalu di gunung.

Masih dengan ilustrasi. Tentu untuk kenikmatan sebuah makanan bukan hanya menyatukan garam dan asam dalam satu belanga saja, namun kita perlu juga cerdas dalam menyatukannya, bila memang dianggap perlu dan memang perlu. Tentu kita akan menaburinya dengan bumbu-bumbu yang lain pula. Memang bumbu itu pada dasarnya sudah ada hanya saja terkadang bumbu yang satu dengan bumbu yang lainnya masih ada hegemoni di antara salah satunya, sehingga bumbu itu dipercayai sebagai bumbu yang tidak boleh disatukan. Sekali lagi, mencampurkan bumbu ini adalah tugas yang sangat beresiko, karena kita harus meyakinkan bahawa bumbu-bumbu yang akan kita campurkan nantinya tidak akan berbaya melainkan akan menjadikan cita rasa semakin enak dan sedap.

Tulisan ini bukanlah sedang membahas tentang arus air atau citarasa makanan melainkan tulisan ini adalah sebuah ilustrasi dengan gaya kiasan. Harapannya semoga pembaca sekalian bisa menghubungkannya dengan apa yang sedang kita maksud yaitu “konflik warian sejarah”. Sebuah paham yang telah mengakar 14 abad lamanya, Dalam hal ini tentu tugas kita bukanlah untuk menerima (sekarang), melainkan untuk mengkritik wacana ini secara mendalam dan menyeluruh sehingga akan kita temui kepincangan-kepincangan wacana ini, setelah ditemukan obat dari kepincangan-kepincangannya sehingga wacanya ini utuh dan sembuh “tidak lagi picang” barulah kita mencoba untuk menerimanya. Wassasalam

Yogyakarta, 25 Desember 2016

Sumber gambar : http://icrp-online.org

Komentar