Mudik
Ilusi: Sebuah Guyonan Pra-Ilmiah
Oleh:
Moehji Ben Sjamsoier
Untuk
mengawali tulisan ini, barangkali akan lebih menarik jika kita memulainya
dengan meminjam kata-kata Fatahurrahman Ghufron, dalam buku beliau yang
berjudul “Ekspresi Keberagamaan di Era Milenuim”. Pada salah satu sub-bab
dengan judul “Mudico ergo sum” yang
artinya “karena aku mudik, maka aku
ada”. Kata-kata ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh seorang filsuf besar
dan mashur, Descartes “Cogito ergo sum” yang
artinya “aku berfikir, maka aku ada”. (Fathorrahman, 2016).
Kata
“mudik” tentu bukan sesuatu asing lagi ditelinga kita, apalagi seorang
perantau. Bagi seorang parantau mudik merupakan momen yang sangat
ditunggu-tunggu. Karena dengan momen itulah seoarang perantau bisa melepaskan
kerinduaanya dengan kampung halamannya, bisa melepaskan kerinduannya dengan ibu
dan bapaknya, dengan sanak family dan dengan masyarakat secara umum. Bagaimana tidak,
setelah sekian lama berada dirantau orang, tentu rasa ingin kembali itu sudah
sudah sangat cukup menjadi “tabungan”.
Masih
mengutip pemaparan Fathurrahman dalam buku yang sama, beliau mengatakan bahwa
mudik jika dilihat dari kacamata sosiologi agama adalah sebagai ajang penemuan
kembali (reinventing) atau penyegaran
kembali (refresh) jati diri. dan,
kiranya tidak berlebihan jika mudik digambarkan sebagai perjalanan kutural sekaligus
spiritual. Hal ini bisa kita cermati bahwa sudah begitu mendalamnya dan
berartinya mudik itu bagi seorang perantau secara khusus dan masyarakat secara
umum.
Kebahagian
mudik bukan hanya dirasakan oleh seroang perantau yang pulang ke kampung
halamannya saja, namun ke bahagiaan itu juga dirasakan oleh orang-orang yang
menantinya. Sudah barang tentu, seorang ibu akan sangat menunggu kepulangan
seorang anaknya dari rantau, begitupun pula seorang anak sangat menunggu-nunggu
kedatangan ayah dari rantau tempat mencarikan nafkah.
Namun
dalam tulisan saya kali ini, Kiranya saya tidak akan membicarakan mudik dalam
arti sebenarnya sebagaimana yang telah kita singgung sebelumnya yaitu pulangnya
perantau ke kampung halamannya. Akan tetapi dalam hal ini saya ingin mencoba
mengenalkan kepada teman-teman pembaca, terkuhus untuk teman-teman mahasiswa —yang
belum bisa mudik tahun ini— sebuah
gagasan —bukan barang baru— yaitu “mudik ilusi”.
Mengunakan
istilah “mudik ilusi” tentu bukan merta-merta tanpa alasan, mudik ilusi
merupakan sebuah istilah yang dalam pembahasannya akan berusaha mengulas dan
memkanai mudik dalam dalam perspektif lain. Atau singkatnya bisa kita sebut
sebagai “mudik dengan cara tidak mudik namun merasakan arti mudik”. Saya tertarik
untuk mengangkatnya dalam sebuah tulisan karena mengingat tidak semua perantau
mampu untuk mudik secara jasmaniah, yang barangkali disebabkan oleh beberapa
alasan, mulai dari alasan biaya sampai alasan waktu dan alasan yang lainnya.
Pada
pembahasan mudik ilusi ini, saya berbicara dalam kapasitas saya sebagai
mahasiswa yang sekaligus sebagai perantau, sehingga pada pembahasannya nanti
tentu akan sangat dipengaruhi oleh apa yang sedikit saya dapatkan dari sekian
banyaknya diksusi-diskusi dengan teman-teman mahasiswa terkait peranan
mahasiswa diperantauan.
Sebagaimana
kita ketahui, setiap pemudik yang pulang kampung terkadang tidak lengkap jika
belum membawa pulang “oleh-oleh”, “oleh-oleh” yang dibawa pulangpun bermacam
ragamnya, apakah itu makanan, pakaian dan yang lainnya. Namun oleh-oleh itu
tidaklah terlalu penting jika dibandingkan mudik itu sendiri. Barangkali jika
kita menyagkutkannya dengan teori maqasid syraiah, maka mudik itu adalah
sebagai seuatu kebutuhan (hajjiyat)
sedangkan membawa oleh-oleh adalah dekoratif-ornamental (tahsini) pelenkap “rasa” mudik itu. (Yudian, 2007)
Namun
jika kaitannya dengan “mudik ilusi” terkhusus untuk mahasiwa (barangkali) mudik
ilusi itu—jika dalam maqashid—berada pada tingkat keharusan (daruri), karena ketika seorang mahasiswa
tidak bisa mudik jasmaniah sudah seharusnya dia mudik secara ruhaniah, yang
artinya, tetap memberikan kabar yang dapat mengembirakan keluarga seacara
khusus dan masyarat kampung secara umum. Kabar gembira itu bisa saja kita
artikan dalam berbagai bentuk,misalnya,—jika konteksnya mahasiswa—kabar gembira
itu adalah ketika sudah bisa berkarya, terserah apapun karyanya.
Misalnya
ketika seorang mahasiswa tidak bisa mudik jasmani karena harus mengikuti KKN
yang bertepatan dengan waktu-waktunya mudik waktu puasa ramadhan,. Barangkali memberikan
kabar “Bundo, tahun iko ambo indak biso
mudik , ambo alah bisa KKN”, tentu
kesedihan karena tidak bisa pulang kampung sudah digantikan dengan kabar
gembira yang kita sampaikan itu.
Hal
itu hanya salah satu contoh saja. Misalnya contoh yang lain, tidak mudik namun
tetap peduli dengan keadaan kampung, dalam pribahasa ureng Aceh (orang Aceh) “Badan
di ratoe, hate bak gampong” “Badan di rantau, hati di kampung”. Jika kita maknai sebagai bentuk kepedulian, “tepo seliro” dalam istilah jawanya. Tentu
dengan menyumbang ide untuk kemajuan kampung halaman termasuk salah satu dari
bentuk mudik ilusi, karena pada dasarnya mudiknya seorang mahasiswa bukan
semata karena kerinduan kepada orang tua dan kampung halaman saja, melainkan
mudiknya mahasiswa itu adalah membawa missi perubahan (agent of change) untuk kampung halamannya.
Sehingga
mudik ilusi ini bisa dipahami dengan sangat fleksibel, bisa dilakukan kapan
saja tanpa mesti berpatok pada waktu-waktu mudik tertentu saja. Lebih
singkatnya, bisa katakan mudik ilusi ini adalah sebuah kesadaran akan keinginan
kembali ke kampung halaman dengan membawa suatu perubahan. Sekali lagi masih
dalam bukunya Fathurrahman bahwa mudik harus dipahami sebagai ajang untuk
memabwa nilai transformatif, jika beliau mengambil contoh nilai transformatif
itu dari segi kearifan desa sehingga nantinya dibawa keperantauan. (Fathorrahman,
2016). Namun dalam tulisan ini adalah kaloborasi, karena mengingat kapasitas
sebagai masisw, tentu harus membawa nilai-nilai yang didapatkan di bangku
kuliah mengkaloborasikannya dengan nilai kearifan yang ada di desa.
Pada
akhir tulisan ini penulis berharap kepada teman-teman pembaca bisa memahami dan
mahu mengkritik dan memberian saran yang membangun kepincangan tulisan ini. Terkhusus
untuk penulis sendiri, semoga tulisan ini bisa menjadi batu loncatan agar
sennatiasa berkontribusi untuk kampung halaman, setidaknya dengan terus menuliskan
ide-ide yang aneh dan “ngenyel” seperti ini, tentu harapan penulis kelak akan
mampu lebih dari pada yang sudah-sudah. Wassalam.
Yogyakarta,
29 Desember 2016.
Bahan bacaan: Fathorahman
Ghufron, 2016. Ekpresi Keberagamaan di
Era Milenium. Yogyakarta, Diva Press;. Yudian Wahyudi, 2007. Maqashid Syari’ah Dalam Pergumalan Politik-Berfilsafat
Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga. Yogyakarta, Nawesea Press.
Karya nya sudah sangat mantap kang.dan the best lah, teruskan berkarya
BalasHapusTerimakasih banyak atas dukungannya yo Kang, mohon kritik dan masukkannya untuk perbaikan di masa mendatang.
Hapus