Mungkin
Setelah Beberapa Kalimat Lagi!
Oleh:
Muhyi Atsarissalaf Bin Syamsuir
Masih dalam pergulatan
syair-syair yang membingungkan, dalam percakapan yang sangat dinantikan
ujungnya, wajah-wajah harap cemas meminta penjelesan mulai tampak berkeliaran
dengan berbagai topeng, celak dan riasan. Dalam sebuah ungkapan dengan kiasan
perempuan itu pernah berujar “lelaki itu
terlalu lama dalam kiasan padahal perempuan itu sudah mati di langgar penantian”.
Sebuah rangkaian
kalimat yang tidak sulit untuk diartikan, hanya saja jabarannya masih
mengandung analogi. Sepertinya Madilognya Tan Malaka tidak merubah apa-apa
dalam perbicanganya dengan perempuan itu, tetap saja ia masih mebuat banyak
sekali analogi dalam mengartikan sebuah defenisi. Perempuan itu berujar “apakah semua buku yang engkau lihat tidak
pernah kau baca dan semua buku yang kau baca tidak pernah menjadi ilmu?”
Perempuan itu juga
menimpali dengan sebuah pertanyaan hidangan pentup pertanyaanya yang
sebelumnya. “apakah syair Hamzah Fansuri
tidak cukup mengajarimu tentang melabuhkan perahu sehingga tak lagi kau kenali
dirimu?”. Beberapa pertanyaan yang pada dasarnya sudah diberikan jawaban,
hanya saja butuh keberanian untuk seorang perempuan mengatakan “inilah
jawaban”.
Perempuan yang
seharusnya tidak bertanya, namun demi sebuah alasan menafsirkan syair-syair
yang dikarang lelaki itu harus bertanya. Sepertinya itu bukanlah sebuah
pertanyaan yang membutuhkan jawaban, karena syair-syair yang menjawabnya akan
lebih tertutup dari beberapa syair sebelumnya.
Perempuan itu pernah
dibuat mabuk dalam hidangan, singgasana yang berkarpet merah dengan jejamuan pernah dibawa berlari menuju alam
mimpinya. Setelah perempuan dan laki-laki itu bersama dalam alam mimpi, entah
dari mana datangnya jam pasir, butir terakhir jatuh tanpa suara tetapi berhasil
menggonacangkan alam kepura-puraan mereka. “butir
terakhir telah berakhir cukup sampai di alam mimpi, jangan singgug lagi ketika
kita terjaga”.
Begitulah seterusnya,
pergelutan terus saja terjadi, masih saja perempuan itu melemparkan senyum pun
laki-laki itu membalasnya. Hanya permasalahan nota kesepahaman saja yang belum
mereka deklarasikan sampai senyuman itu lapuk dan akhirnya harus menjadi debu
atau menjadi beberapa tetes air sejuk dari sungai yang mata airnya di hati. Padahal
hanya bertanya dengan “apakah” dan menjawab dengan “iya” saja abad-abad
membingunkan ini akan berakhir.
Kita tidak pernah tahu,
apalah laki-laki itu telah membuka lembaran abad yang baru dengan perhitungan
tahun yang berbeda. Sehingga membuat lingkaran kompromi menjadi renggang?.
Lelaki itu tidak pernah bercerita, hanya beberapa syair yang begelantungan di
dinding-dinding itu, yang belum cukup kuat untuk mengangkat menjadi sebuah
pernyataan bahwa lelaki itu telah membuka lembaran baru.
Sekarang pergelutan
syair dianntara keduanya memang tidak pernah lagi terjadi. Namun, jika kita
berani mengambil langkah lancang, kiranya boleh kita mengatakan mereka sedang
bergelut dengan senjata baru yang lebih dalam. “hati”, kiranya kita boleh
mengatkan hati mereka sedang bergelut dengan beberapa pertanyaan “apakah aku, apakah dia” pertanyaan itu
datang dari masing-masing mereka dan menjawab dengan cara masing-masing pula.
Dengan wajah
kepesimisan, pada bagian kehidupan dimata kata-kata belum bisa dikatakan
sebagai kata-kata mereka kerap berujar “Sudahlah
tugasku menunggu, sudahlah untuk memulai tidak mesti aku”. Perperangan ini
sangat sulit dilerai, mediator dari manakah yang akan bisa mendamaikan, hanya
ada satu. Ketika cahaya itu memberikan kedamaian kepada masing-masing mereka
ketika itu pulah mereka akan betemu di antara cahaya itu.
Ketika mereka bersaksi
di depan cahaya, kita sudah bisa mengatakan; Pergelutan beberapa abad itu sudah
tutup buku. Lelaki itu membawa tinta, dengan ketulusan perempuan itu berujar “sandarkanlah kepalamu di atas pahaku, akan
aku bacakan syair yang baru saja engkau tulis”.
Ketika abad baru datang
dengan pembaharunya, mereka menjadi dua orang saksi tanpa kesaksian atas
kemuculan pembaharu, kita belum bisa memastikan apakah cahaya itu akan selalu
mereka rasakan terangnya ataukah kegelapan baru akan muncul mengiringi
berjalanya abad baru itu. kita hanya bisa berdoa agar ujian ketiadaan cahaya
tidak lantas membuat mereka selamanya dalam kegelapan, karena sejatinya sedetik
ketiadaan cahaya harus menjadikan kesadaran akan kebutuhan cahaya sampai segala
hakekat bersaksi di depan Maha penentu segala hakekat.
Setelah beberapa
kalimat berlalu, dengan makna yang bermakna jika mampu dimaknai. Ibu dari
laki-laki itu berujar “Nak, akan ada
saatnya kau menyebutkan dengan jelas dan terang. Belajarlah meluruskan jalan
yang berliku dan menerangi setapak berlukar”. Sebuah wejangan yang sangat
sederhana pembendaharaan kata namun sangat dalam maknanya. Begitulah kiranya, “mungkin
setelah beberapa kalimat lagi” yang menjadi harapan perempuan dan laki-laki itu
masih menunggu banyak sekali kalimat sebelum di tentukannya kalimat penutup
untuk mengakhiri abad ini seraya membuka abad yang baru.
Yogyakarta, 9 Desember
2016
Komentar
Posting Komentar