Neo-urbanisasi "dari Desa ke Desa"
Oleh:
Muhyi Atsarissalaf Bin Syamsuir
Kita mesti cerdas dalam
membaca berjuta-juta kepala di bangsa ini. Masih ingat bukan, ketika masa kecil
kita dahulu. Sebelum berangkat ke sekolah, pemegang otoritas tingkat dua (ibu)
selalu menyeru agar kita sarapan terlebih dahulu. Begitupun dengan keadaan
bangsa ini, sebelum kita menyeru masyarakat agar berfikir jernih, luas dan
produktif. kita perlu menyiapkan “makanan” yang mencukupi. Namun sayangnya hal
ini masih dinggap sebagai candaan (tidak ditanggapi serius).
Saya masih ingat ketika
masa-masa kecil dahulu, di mana rumah sekolah di jadikan target pemasaran oleh beberapa
orang tua murid yang memiliki dagangan dengan menyuruh anaknya membawa dagangan
ke sekolah. Dalam hal ini saya bukan
sedang menunjuk hal itu sebagai sesuatu yang salah atau benar. Melainkan hanya
sebuah gambaran dari “tarian cacing perut” akibat tirani.
Untuk menyekolahkan
anak tentunya butuh biaya, sedangkan biaya hanya akan di dapat jika anak tidak
sekolah. Memilih anak pergi membantu panen di ladang atau mencangkul di sawah
jauh lebih menghasilkan dari pada menyuruh anak yang sekolah yang hanya akan
menghabiskan uang.
Sesekali kita cobalah
kita mendengarkan argument-argument pembicara pada “seminar warung kopi lintas
dusun”; tujuan menyekolahkan anak tidak lain tidak bukan untuk menjadi mesin “produksi
uang” dengan jalan cukup “tanda tangan” (baca PNS). Pun jika ada yang memiliki
tujuan yang lain, barangkali sudah bisa ditebak orang tua dari anak itu adalah
orang yang berkecukupan, itupun jumlahnya tidak seberapa. Jangan pernah
berharap pada seminar itu tujuan sekolah agar bisa berfikir kreatif, sekembali
dari rantau bisa “sekali siram dua hektar
sawah terairi”.
Agar anak tetap sekolah
atau alasan ekonomi yang lainnya, beberapa masyarakat desa mulai pindah pekerjaan
menjadi kuli di ke perkebunan sawit milik pengusaha dan barangkali milik
penguasa juga. Saya tidak tahu apakah di perkbebunan sawit-sawit yang seluas
mata memandang itu ada perguruan tinggi yang diisi dengan matakuliah
kelestarian alam, kelestarian lingkuangan dan sejenisnya. Barangkali hanya ada
kursus-kursus spesialis pendodosan, budidaya bibit baru dan kursus lobi-lobi
tingkat tinggi perizinan lahan baru. Agen marketing dengan corak MLM mulai
merasuk pemikiran masyarakat desa dan melakukan perekrutan menjadi tenaga
pendodos baru.
Masyarakat desa yang
baru pindah pekerjaan menjadi pendodos tingkat awal ini mendapatkan angin segar
dengan pendapatan yang sebelumnya tidak pernah dirasakan ketika berada di desa.
Mendapatkan penghasilan tiga juta satu bulan tentu sangat membanggakan jika sebelumnya
penghasilan dua ratus ribu per minggu. Awal-awal yang sangat menyenangkan
hingga kadang turut mengajak anak bini pindah ke tempat bekerja akbiatnya sawah
dan ladang di kampung mulai tidak ada yang mengelola hingga akhirnya di jadikan
uang dengan cara menjualnya. Terkadang dijual kepada orang-orang kaya dari
kota.
Namun lama kelamaan
rasa tidak mengasyikkan dan tidak mampu lagi tinggal di perkebunan sawit itu
mulai datang, bayaraan tiga juta per bulan mulai terasa tidak ada apa-apanya
jika di bandingkan pendapatan dua ratus ribu perminggu di desa, karena uang
tiga juta itu hanya habis untuk membeli beras, air dan lauk pauk. Bahkan demi
melanjtukan kelangsungan hidup menjadi kuli di perusahaan pun diwariskan kepada
anak-anak yang seharusnya masih duduk di bangku sekolah.
Akibat penjualan tanah
pada orang yang kurang tepat, akhirnya tambang-tambangpun mulai masuk desa. Awalnya
juga tampak seperti angin baru untuk orang-orang desa dalam merubah kehidupan
yang lebih baik. Dalih-dalih lebih baik ternyata tambang yang masuk ke desa
tidak bisa sepenuhnya dapat dinikmati, hasil alam mereka di bawa keluar di olah
di luar dan akhirnya mereka hanya dapat limbah akibatnya tanah-tanah jadi
rusak, tanaman tidak bisa tumbuh lagi, bencana alam mulai dari banjir sampai
longsor mulai menjadi petaka setiap tahunnya.
Penolakan gakanya tidak
mungkin lagi dilakukan karena sudah terlanjur menggantungkan hidup disana, petani-petani
yang masih teguh dengan sawahnya harus di uji ketabahannya, daya tarik oleh
kehidupan dari pekerja yang mulai tampak lebih mewah, bisa mendapatkan mobil
baru, sepeda motor baru, hasil dari tambang lebih dinikmati dalam bentuk
konsumsi dan hanya beberapa saja yang berfikir produktif pada akhirnya kadang
sama saja, air yang dahulunya bisa mereka dapat dari pegungungan kini harus
membeli.
Padahal dahulu di desa
jika hanya untuk makan dan minum; beras tinggal petik dari sawah yang hanya
sepetak, sayur-sayuran tinggal petik dipekarangan rumah, ikan hanya bisa di
dapatkan dengan memancing. Ingin kembali ke desa pun sudah tidak memiliki
apa-apa lagi, karena rumah sudah di jual, tanah-tanh sudah dijual tinggal tanah
makam bapak yang tak dijual. Bahkan kadang keadaan sama saja bisa jadi lebih
hancur, jikapun kembali barangkali hanya untuk melepas penyesalan di tanah pusaran
sang ayah.
Inilah yang menjadi
tugas yang berat bagi mahsiswa ketika kelak kembali ke daerahnya. Memberikan pemahaman
di tingkat akar rumput itu memang sangat sulit karena bukan tidak mungkin kita
akan berhadapan dengan sanak saudara dan masyakat secara luas yang corak
pemikirannya sudah tidak sejalan dengan kita. Satu segi itu adalah kerusakan
dan akan sangat berbahaya untuk masa mendatang, dari satu sisi itu adalah tempat
pengantungan hidup pada masa ini. Bisa jadi kita akan menjadi di kucilkan
karena menentang arus pemikiran yang telah mulai mengakar di dalam sebagian
masyatakat kita.
Menjadi manusia yang
kreatif barangkali jalan yang paling aman dalam menanggapi hal ini, jika memang
sudah tidak mungkin lagi menuntut penutupan tambang dan lainnya. Lalu
berapa kepala pula yang akan mati kelaparan. Siap-siap saja menjadi manusia
yang dianggap gila kareana kewarasan kita, tapi hal ini menjadi sangat penting
guna menenangkan tarian cacing perut yang mulai liar dan lapar agar tidak salah
dalam mengambil langkah. Bila tarian cacing perut hanya jadi tontonan maka
tinggal menunggu “bom waktu” itu meledak, cacing-cacing itu akan menjadi
anarkis, brutal dan menjadi penyakit yang jauh lebih mematikan. Jika kerusakan
sudah tidak bisa di kendalikan lagi, kita yang masih diberi pemikiran ini pun
tinggal menunggu waktu kemusnahan saja.
*Tulisan ini hanya
keresahan pribadi yang penulis coba tuliskan dengan tulisan yang carut marut
Yogyakarta, 12 Desember
2016
Komentar
Posting Komentar