Produk
Keadilan Dalam Bingkai Ekonomi "Sundutan"
Oleh:
Muhyi Atsarissalaf Bin Syamsuir
Agaknya kita perlu
bertanya tentang teori keadilan kepada mereka yang tidak mengerti tentang teori
keadilan. Karena dalam anggapan saya pribadi orang-orang yang tidak mengerti
tetang teori keadilan inilah yang kerap diadili tanpa keadilan. Untuk apa kita
bertanya keadilan kepada mereka yang seringkali menunggangi teori keadilan
untuk tidak bertindak adil. Pada dasarnya keadilan itu bagaimana? jika keadilan
itu adalah berimbang, lantas kenapa kita hanya berntanya kepada orang sudah
tercukupi bahkan melebihi isi timbangannya.?
Sepertinya sekarang
kita sedang mengadu “merk” keadilan, dengan modal hanya membaca resep dari
bungkus keadilan itu, dengan resep itulah kita bicarakan tetang rasa “merk”
keadilan ini dan itu. Kenapa kita tidak mencoba membuka bungkusnya lalu
mencicipi sampai kita tahu benar rasanya bagaimana. Setelah kita cicipi dan
terasa cocok di lidah, cobalah suruh orang lain mencicipinya apakah cocok juga
di lidahnya.?
Kita juga perlu
bertanya, apakah dengan memberikan bantuan satu dua kardus mie instan untuk
para korban dari ketidak adilan sudah dinamakan adil.?, saya rasa sangat
tergantung pada siapa yang memberikan. Seorang yang hanya bisa dengan mie
instan hal itu sudah sangat adil baginya, tapi bagi kita yang mampu lebih dari
pada itu, apakah hal itu adil.? seharusnya tidak.
Dalam memberikan keadilan
inipun banyak macamnya, misalanya saja ada sekelompok orang yang kelaparan
kerena ketidak adilan. Orang yang membantu tentu tidak semuanya dengan makanan,
ada pula yang membantunya dengan surat, dengan suara, dengan doa, dengan air
mata, dengan darah, dengan keringat dan dengan yang lainnya. Sampai-sampai ada
yang membantu menambah ketidak adilan itupun juga ada.
Keadilan sekarang agaknya
sudah dijadikan produk yang sifatnya “dijual terpisah”, yang mana orang yang
membeli keadilan itu harus merakitnya sendiri dengan sedikit bantuan buku
tutorial, bagi mereka yang memiliki uang yang cukup untuk membeli produk
keadilan yang siap pakai, tinggal memakainya saja tanpa perlu berfikir tentang
bagaimana cara memasangnya. Keadilan sekarang tampaknya sudah dijadikan dalam
beberapa jenis dan pilihan sangat tergantung pada kemampuan orang yang membeli
keadilan itu.
Keadialan diletakan
pada tingkat pertama dalam kebutuhan, yang artinya sangat dibutuhkan. Jika kita
menarik kepada teori ekonomi sundutan,
maka ketika barang itu langka dan dibutuhkan maka ketika itu pula akan menjadi
sangat mahal, yang akhir-akhirnya orang yang sanggup membelinya sajalah yang
bisa mendapatkan.
Pola promosi produk
keadilan ini pun sangat beragam, mulai dari promosi bahan, kualitas, dan yang
menjadi model promo. Semakin tenar model yang dicaplok namanya semakin semakin
diminati produk itu dan tentunya samakin mahal. Kalau bintang promosinya model
murah tentu harganya juga murah dan kualitasya juga tidak seberapa.
Keadilan sekarang ini
tampaknya adalah nilai tukar, sama tapi tidak persis seperti nilai tukar uang. Ketika
negara itu memiliki nilai tukar uang yang tinggi maka ketika itu pulalah nilai
keadilan itu menjadi tinggi. Nilai tukar keadilan terhadap ketidak adilan
sangat tergantung pada siapa yang mendapat ketidak adilan, karena kita bisa
melihat hal itu. Ketika yang menerima ketidak adilan itu adalah yang memiliki
nilai tukar tinggi maka seketika itu pula keadilan itu di tawarkan kepadanya,
kerena penjual keadilan tahu orang tersebut akan membelinya.
Tapi coba kita lihat
pula, ketika yang mengalami ketidak adilan itu yang memimilik nilai tukar
rendah palingan yang menawarkan keadilan hanya beberapa saja, memang kadang
tampaknya ramai yang menawarkan tapi merk keadilan yang kurang terkenal. Kerena
promo mereka tidak memakai model yang tenar dan digermari.
Keadilan mestinya tidak
utuk dibuatkan merk lalu dijual belikan, pada dasarnya keadilan itu adalah
kewajiban untuk memberikan dan hak untuk menerimanya. Pada dasarnya keadilan
tidak perlu diminta jika pada teorinya keadilan itu adalah keharusan untuk
diberikan. Pertentangan antara teori dan praktik ini memang sangat marak sekali
terjadi, penyebabnya sangat mudah dideteksi, karena para pencetus teori dan
ahli teori masih sedikit yang berpraktik. Seperti seorang sarjana ekonomi abal-abal yang tidak
memiliki warteq dan burjo tapi membahas kelemahan burjo dan warteq.
*Penulis adalah penulis abal-abal yang sedang belajar mengetik sepuluh jari :D
Sumber Gambar : beritagar.id
Yogyakarta, 1 Desember
2016
Komentar
Posting Komentar