Sampai
Kapan?
Oleh:
Moehji Ben Sjamsoier
Lama
kelamaan kita akan menyadari maksud yang sejak lama kita sembunyikan, segala
macam topeng telah sama-sama kita kenakan, sampai-sampai kita mengulang
mengenakan topeng yang sama. Bukan mungkin lagi, memang sudah. Kita sudah terlalu
letih untuk selalu bersembunyi, hanya karena gara-gara ikrar yang sama-sama
kita menantinya.
Tapi
bagiku, masalah ini tidak semudah ikrar itu. Kalau hanya mengatakan “Apakah kau
mencintai ku?” sekarang juga akan aku katakan. Aku sangat tidak peduli apakah
engkau menjawab “iya” atau “tidak”. Secara jujur, aku akan bercerita tentang
orang lain, namun ikut terpaut dalam kerumitan kita ini.
Memang,
memilih diam adalah pilihan untuk tidak memilih sama sekali. Tapi ternyata
tidak cukup mengobati, bayang-bayang itu akan selalu datang dan hadir. Entah
dengan undangan maupun datang dengan sendirinya. Perlu aku katakan pada mu,
bayang-bayang itu datang tidak hanya dalam sudut-sudut kesunyian namun dalam
keramaian ia sama bergentayangan.
Aku
tidak berani menjamin, tapi aku sudah memikirkan hal itu, kelak jika kita
bersua, aku memiliki rencana angkat bicara tentang apa yang sebenarnya. Dari alasan
yang sangat klasik sampai pada alasan yang barangkali tak sampai di akal.
Bukankah
kita sudah sama-sama merasakan getirnya perperangan?. Memang mereka melihat
kita akur dan tampaknya tidak ada masalah sama sekali, kecuali dia yang engkau
beritahukan cerita ini pada dasarnya adalah kegetiran dan keserba tidak
jelasan. Jujur saja aku belum pernah bercerita kepada orang yang mengenal mu. Pun
jika aku rasa harus menceritakan, aku mencerikan kepada orang yang tidak akan
pernah peduli aku dan kamu.
Bukankah
pada akhirnya kita akan bermuara pada sebuah kesimpulan bahwa cerita ini sudah
tidak bisa lagi di tampung oleh siapa, melainkan harus bermuara pada Dzat yang
tidak sedikitpun wewenang kita untuk menebak dan melukiskan tentang Dzat itu.
Sangat disayangkan, kita sudah terlalu jauh berfikir padahal penyelesaiannya
sangat dekat yaitu Dzikir. Memang sangat sulit berada seimbang di garis ikhlas
dan sabar, tetapi apakah kita sanggup kelak harus berada di derasnya cabar dan
cibir.?
Pada
akhirnya sebelum kita di kembalikan kita dituntut untuk kembali pada dua jalan
kembali, kembali menjadi diri dan kembali menjadi masyarakat dimana kita jadi.
Memang jika kita menakar batasan etika dengan realitas kota detik ini juga akan
ada jawabannya, tapi apakah kita bisa menjawab soal etika yang dalam takaran
desa?. “maruwah” itu lebih utama,. Kita bukan di hadapkan pada positif atau negatif
bergantung pada benar dan salah, tapi kita harus menjawab pertanyaan yang
takarannya pada pantas dan tidak pantas. Wassalam.
Yogyakarta,
26 Desember 2016
Komentar
Posting Komentar