Suara-suara Dari Persimpangan Jalan Kiri




Suara-suara Dari Persimpangan Jalan Kiri

Oleh: Moehji Ben Sjamsoeir

Benarkah suara-suara itu ditakuti?, seberapa besar gema suara itu?, ataukah kita yang besar ini merasa selalu kecil dan akan tertindas?. Kejadian yang berdarah-darah itu menjadi amarah dan kebencian atau menjadikan semangat yang besar ini menjadi ciut dalam ketakutan.? Mengutuk pelaku kebiadaban itu saya rasa sudah cukup dan sudah selesai, sekarang sudah tiba saatnya kita lebih giat membangun pemikiran dengan corak pemikiran yang kita punya.

Pernah seorang tua yang banyak jasanya di negeri ini berujar “orang kalah akan menjadi kalap”, dari dahulu perperangan ini sudah dimulai yang kerap berakhir dengan perang yang akan menimbulkan banyak kecaman yang minim pengadilan. Namun yang palung dasar yang perlu kita sadari adalah dampak akan bahayanya perang pemikiran dalam jangka panjang, di mana pemikiran impor dari kedua kaum yang saling bertentangan itu telah berhasil melumpuhkan cara fikir budaya bangsa kita. ketika itupulalah kita kehilangan daya untuk melakukan perlawanan karena kita harus melawan anak bangsa yang kepalanya sudah tidak lagi pada bangsa ini.

Sepatutnya kita sudah bisa membaca dengan lebih dalam dan tajam, kita bisa lihat dan rasakan dampak lain dari kebebasan yang pecah ketika pada awal reformasi, tidak hanya menjadi angin segar tapi juga menjadi badai kesebarba bebas hingga menjadi aneh rasanya ketika tidak bebas--dalam kaca mata monopoli kaum yang sanggup bebas saja. Berbagai pemikiran sudah mulai masuk dan bahkan merasuk. Kita yang mengaku berada di garda depan pejuangan nyatanya dengan lahap mengosumsi pemikiran yang sudah mulai usang itu.
Jika orang-orang yang wajahnya di garda depan dalam hal menentang kebijakan itu kita turuti saja tampa sedikitpun kita bertanya tentang apa yang dipertentangkannnya, lantas apa bedanya kita dengan orang-orang yang belum mendapat kesempatan memikirkan orang-orang yang berfikir?

Di era yang serba bebas ini mestinya harus kita pahami dalam bentuk kebebesan mengembangkan budaya fikir bangsa kita. budaya berfikir degan corak orang-orang tengah. Karena jika kita amati sekarang bukanlah barang langka jika orang yang melemparkan kutukan kepada “kaum bungkus” ternyata juga menggunakan bungkus saja. seperti pemikiran kiri yang tampaknya menjadi ajang trendi, seolah ingin mengatkan “akulah orang kiri” padahal hanya membaca satu cover dari beberapa buku kiri.

Sebagai orang yang dikaruniai duduk di bangku kebebasan, kenapa kita hanya mengonsumsi, kenapa kita tidak coba untuk kritisi. Kita bukan kekurangan orang-orang yang berfikir dengan corak bangsa kita sendiri, namun sayangnya pemikiran mereka kalah tenar dibading pemikiran impor, seolah-olah pemikiran bangsa kita ini jauh tertingal, dan pemikir itu kolot karena tidak pernah membaca pemikiran impor.

Padahal pada kenyataannya kita yang menamai orang-orang yang paling lantang dengan produk-produk impor malah lebih lahap dalam mengonsumsi pemikiran impor, sedangkan mereka yang terdahulu yang kita katakan kolot itu jauh lebih krtitis dari pada mucung-muncung kita ini. Mereka membaca pemikiran impor dengan kajian penilaian pemikiran khas corak pemikiran bangsa kita sendiri, sehingga pemikiran impor itu tidak hanya bahan konsumsi tapi menjadi dasar membangkitkan diri. Kita bisa melihat pada zama itu ada tokoh kiri yang memutuskan membuat kirinya sendiri. Dan orang yang dipenjarakan karena “kanannya” paling kanan bisa membuat kanannya sendiri.

Tapi pada masa ini agaknya terbalik, kita menilai sebuah pertanyaan bukan dengan seberapa bobot jawaban atas pertanyaan itu, melainkan dengan seberapa bobot pertanyaan yang meminta jawaban itu. Sekarang kita bisa merasakan, negara kita sedang dirundung banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang berbobot tapi masih jarang kita mampu menjawabnya.

Pada dasarnya pertanyaan itu memang sudah ada jawabannya, kita sedang dalam ujian kelas dunia, dimana negara-negara tempat kita berguru sedang membuat pertanyaan dan akan dinilai tepat tidaknya jawaban itu sesuai dengan jawaban yang telah mereka sediakan. Padahal dalam sekian lama pembejaran kita diminta membuat sebuah pertanyaan, tapi kita masih jarang sekali berfikir membuat pertanyaan untuk guru kita yang jawabannya sudah ada pada kita.

Kemabali kita kepada suara-suara dari persimpangan jalan kiri yang juga telah membuat pertanyaan sekaligus kunci jawabannya. Apakah kita akan mengulangi hal yang sama, ketika jawaban kita salah dalam ukuran kunci jawaban mereka harus menerima hukuman mati dan orang-orang tua kita merespon dengan hal yang sama yaitu juga mematikan mereka yang menghukum. Sudah sepatutnya kita mulai berfikir bagaimana kita membuat membuat jawaban yang membuat dagangan pemikiran mereka tidak laku di tanah kita. karena kita sudah memiliki pemikiran yang diatas pemikiran mereka.

Corak pemikiran yang paling khas dari kita adalah “bukan menjawab boleh atau tidak boleh, hitam dan putih, tapi dengan jawaban seharusnya begini agar tidak begini sehinga jawaban itu sudah ada sejak pertanyaan itu belum ada”. Tapi pada kenyataannya sebelum jiwa kita didik untuk seharusnya begini dan begini namun kita sudah disuguhi dengan bagaiamana jika begini dan begini padahal yang begini-begini itu hanya satu dari seribu.

Seperti tuntutan wanita yang menjadi perempuan yang sempat menjadi bahan celotehan saya beberapa waktu yang lalu, sebuah pemahan yang masih sulit saya terima. Bagi saya yang sangat kolot ini, hal itu hanya memenuhi keinginan dari beberapa orang saja yang tidak sanggup, yang hanya akan menimbulkan bekas-bekas luka yang baru yang lebih menganga. Karenanya kita mesti lebih curiga (bukan dalam arti menolak) dengan pemikiran impor.

Masalah ini sebenarnya sudah selesai dibahas dan sudah dipraktikkan di tanah kita ini, hanya saja karena itu dirasa tidak memiliki merk maka hal itupun tidak diminati. Padahal kalau kita kaji lebih mendalam bukanlah sesuatu yang tidak mungkin kita menjual hal ini kepada toko-toko pemikiran dunia. 

*Tentang apa sajakah pemikiran-pemikiran itu belumlah menjadi tugas saya untuk mengatakaannya karena saya bukan pemikir. Namun harapan itu tetap ada. kalaulah dikaruniai pun saya sedang mencoba menyiapkan bekal untuk bergabung dalam barisan orang-orang yang langka itu.

*Tulisan ini hanya celotehan orang yang sedang belajar mengetik sepuluh jari. Cukup dijawab dengan diperbaiki saja.

Yogyakarta, 9 Desember 2016

Komentar