Hanya Sekadar Nostalgia

Hanya Sekadar Nostalgia

Oleh: Moehji Ben Sjamsoier

Ada sesuatu yang membuat fikiran saya berkeringat, mungkin karena setelah sekian lama tidak banyak mengenang. Tentu jika sebelumnya saya sudah banyak mengenang mungkin tulisan ini tidak tergenang pada hari ini di beceknya kubangan media sosial ini.

Entah mengapa sekarang saya sedang memikirkan Pancasila, dalam fikiran saya itu tampaklah Pancasila itu sedang kebingungan, wajahnya seperti resah, ia tampak kehilangan kesaktiannya. Sila-sila itu bertanya pada sila yang pertama, apakah kami tinggal empat? dan yang satunya telah "meletus"?

Sila yang pertama hanya diam saja, banyak orang yang kadang tak sampai akal membuat tafsiran bahwa sila yang pertama tidak akan pernah bisa bicara. Namun bagi mereka yang cermat akal dan mantap jiwanya mengatakan, lihatlah pada kitab suci dan ajaran masing-masing keyakinan, jawaban itu telah ada sebelum pertanyaan itu ada.

Setelah itu, sila yang pertama berkata, dan kata-kata itulah yang menjadi sila ke dua sampai yang ke lima. Pancasila tersenyum menenangkan hati orang banyak karena orang sedikit juga bisa berteduh di bawahnya, padahal memang sudah sejak lama manusia di nusantara ini mempraktikkan pancasila, namun ketika ia bertemu dalam wadah negara jadilah ia perekat yang perlu dimaknai dan dilakoni.

Namun beberapa tahun terkahir, Saya merasakan ada sebuah kejanggalan, seolah ada pemaksaan dalam memaknai pancasila dalam versi tertentu saja, padahal pancasila sebagai falsafah yang masih amat umum tentu boleh ditafsirkan dengan cara yang berbeda-beda dan yang tidak boleh adalah menyalahi makna pancasila itu sendiri.

Terkadang saya merasakan pancasila diajarkan menjadi doktrin yang kosong, karena ia diajarkan hanya dengan hapal-hapalan, tapi tidak pernah dijabarkan bagaimana melangkah dengan pancasila itu sendiri. Maka terkadang tak jarang orang yang katanya pancasilais tapi tingkah polahnya sangat jauh dari nilia pancasila itu sendiri, berbeda dengan pemangku adat dan hukum di pelosok sana, mereka yang diawam-awamkan karena tak hafal dan tidak mengerti pancasila, tapi kehidupan mereka tidak ada yang bertentangan dengan pancasila.

Kita boleh bertanya kepada orang-orang yang ada di pelosok sana, yang mendengar pancasila sepintas lalu, ketika mereka hendak berangkat ke sawah atau keladang yang satu jalur dengan sekolah, hanya dari mulut guru yang berdiri menjadi pembina upacara setiap hari senin itulah mereka mendengar sayup. Tanpa harus mengetahui Pancasila dan hafal silanya mereka lebih paham dan mempraktekkan Pancasila itu dalam kehidupannya, seperti semangat gotong royong yang telah menjadi kearifan bagi mereka,.

Sayang teramat sayang, Ada satu hal yang saya sedih melihatnya. Sendi kehidupan merka yang arif itu hilang karena sebagian oknum datang untuk mengajarkan Pancasila, namun sayangnya oknum itu bodoh memahami masyarakat, dalam kepala mereka, orang akan dianggap cerdas dan berkepribadian Pancasila ketika orang tersebut hafal, seolah masalah pengamalan sepertinya "masa bodoh".

Ketika simbol banteng disesatkan maknanya menjadi liar dan menanduk siapa saja yang berbeda, ketika simbol bintang gagal dimaknai menjadi merasa lebih hebat dan pantas dari orang lain, ketika simbol rantai dimaknai untuk mengikat kaki dan tangan orang lemah, ketika simbul kapas diplesetkan menjadi kenyaman bagi orang tertentu saja, ketika simbol padi dimaknai, makan enak hanya untuk orang kelas atas, ketika simbol beringin dimaknai menjadi tempat benaung teman-teman yang sesuku, segolongan saja.

Saya berfikir, jika Pancasila masih diseret-seret untuk kepentingan politik praktis seperti ini. Maka wajar pancasila itu akan menjadi sangat menyeramkan, kita sebagai orang yang hidup dibawahnya tinggal menunggu kehancuran.

Yogyakarta, 23 Januari 2016

Komentar