Hujan
Batu Dari Sepetak Langit Jogja
Oleh:
Moehji Ben Sjamsoeir
Malam
itu aku mengirimkan sebuah tulisan kepada teman, aku meminta agar tulisan itu
dikritisi olehnya. Tulisan itu memabahas tentang keresahan. Sebelumnya aku
sudah sedikit menebak-nebak, ternyata benar apa yang aku resahkan itu turut
juga ia rasakan. Ia menuturkan bahwa tulisan itu secara tidak langsung sedang
menyuarakan isi hatinya.
Bahasanya
yang kaya dengan sastra ternyata tidak bisa ia tinggalkan ketika membalas
e-mail yang aku kirimkan itu. Katanya
e-mail yang ia kirimkan malam itu adalah sebagai e-mail pertama yang melayang
ke langit-langit Jogja, aku hanya tersenyum di samping aku harus menangis karena
menerima balasan e-mail yang bernada-nada pesimis.
Imajinasiku
tersangkut bersama kalimat “langit-langit Jogja”, sepertinya langit-langit
Jogja memanggil ku untuk menulis puisi cengeng saja dari pada menulis kritik
dan karya ilmiah. Masih di bawah langit-langit Jogja, aku sempat berfikir kapan
kiranya langit-langit Jogja akan menangis, aku merasa langit itu sangat luas
padahal ia hanya satu satu petak di atas kepalaku, langit itu tetaplah menajadi
langit perlawanan yang menakut-nakutiku langit itu akan berakhir dengan toga
pembangkangan.
Langit
sepetak itu kapan kiranya akan turun hujan air, terlalu jauh kalau aku
memimpikan salju. Lama-kelamaan kepalaku akan retak karena terlalu lama dirundung
hujan batu, di samping telingaku memekik suara petir-petir keluhan adikku. Aku
menjadi abang yang tidak ada gunanya rupanya. Mebuat slogan-slogan siapapun
bisa, tapi untuk memaknai dan menjalankan slogan ini ternyata amat sulit.
Keadaan
ini nampaknya semakian parah oeh kerena kebodohanku, sebuah kenyataan bahwa
fikiran-fikiran yang bodoh harus menerima kenyataan terbuang di tong sampah yang
pada saatnya tiba nanti akan dibakar oleh bocah-bocah lugu itu. Seremonial
mingguan itu berlangsung tiap pagi minggu lokasinya amat strategis, tepat di
samping asrama tempat aku mengorek saluran pembuangan di sebuah negara “imajinerku”,
tempat diajari tentang totaliter agar aku menjadi se-ideal yang mereka pikirkan,
sedikit sekali aku diajari agar menjadi apa yang ingin aku menjadi. Karena “menjadi
dirimu sendiri” adalah slogan penyair kusam yang tidak pernah dijabarkan maknanya.
Sudah
dua tahun, hampir masuk tiga tahun aku berada di kota pelajar, ternyata
kepulanganku belum bisa merubah apa-apa, Orasi-orasi dan puisi tidak akan mebangkitkan
tapi itu adalah kelimat-kalimat hasil percintaan imajinsi dan kejenuhan saja. Aku
membakar mereka dengan filosfi agar bocah-bocah itu lekas mencari dan memaknai
namanya, tapi pada hakekatnya filsful itu bukan hanya mencari tapi juga
melakoni. Gagal dalam melakoni membuat langgam filsafat itupun harus menerima
kenyataan tidak ubanya sebuah selogan pada masa masa orde lama dan orde baru. Jangan
pernah berharap perubahan yang radikal, karena tidak pernah akan kita dapati.
Bagaimana kiranya akan berubah jika bocah-bcah
itu tidak diberikan ruang untuk membaca apa yang mereka sukai dan minati. Mereka
harus menikmati membaca buku matematika, fisika dan kimia layaknya sebuah novel
Hamka atau merasa tergelitik layaknya membaca cerita pendek Abu nawas.
Rumus-rumus yang sulit menjadi bahan hafalan, rumus itu dipaksakan di kepala
mereka. Mirisnya sekarang, sosiologi bahkan tidak pernah mereka kenal sama
sekali, karena sosiologi bisa memabayakan kiranya. Mungkin sebahaya petikan ungkapan
Marx dan kawannya Lennin tentang tuhan dan agama. Namun aku tidak pernah
mengerti kenapa Darwin masih saja laku di sana.
Tempat
itu bagiku layaknya sebuah negara dengan pemerintah yang super otoriter, semua
ditentukan oleh kalangan kelas atas dengan alunan yang hanya mengamini. Tidak
ada kata kompromi dengan kalangan manusia yang harus menerima kebijakan di akar
rumput. Dahulu bahkan mungkin sampai sekarang aku masih saja menjadi kerbau
yang berada di akar rumput, karena tidak tahan dengan kebijakan yang hanya
memukul tapi tidak pernah mengizinkan aku menjadi burung itu, akhirnya aku
menjadi kerbau yang bersayap, aku bertanduk dan bebas, akhirnya semua harus aku
tanduk. Hingga aku dinobatkan sebagai kerbau gila.
Pada
dasarnya, aku menjadi kerbau gila bukanlah tanpa sebab. Itu karena ketidak sanggupanku
dengan sebuah aturan yang tidak mengizinkan aku menjadi burung itu. Bukan tidak
ada orang yang mencoba untuk mengkritik peraturan itu, bahkan sudah terlalu
banyak. Tapi mereka harus menerima sebuah kenyataan bahwa meraka akan menjadi
“tahanan politik” seperti Bung Hatta yang di buang ke Digul, harus menjadi Tan
Malaka yang tidak merdeka setelah memperjuangkan kemerdekaan, seperti Pramudya
yang hidupnya dalam penjara, seperti Hamka yang harus terusir dan berkaya dalam
jeruji.
Sampai
sekarang aku masih tidak mengerti seara utuh tentang segala maksud yang ada di
sana, tentang apa sebenarnya tujuannya, karena sebuah sistem harus aku telan
layaknya obat paling mujarab meski belum aku ketahui kasiatnya. Orang yang
seperti ku, orang yang sakit seperti akulah yang sering miminum obat itu, tapi
tak kunjung sembuh. Karena penyakitku tak pernah diperiksa hanya ada satu obat
mujarab yang dipercayai dapat menyebuhkan segala penyakit yaitu kata-kata yang
pedas dan mengucilkan.
Menawarkan
dongeng ini agar dibacakan oleh orang-orang yang memiliki pengaruh. “Entahlah”
adalah uangkapan yang paling romantis untuk menggambarkan suling-suling kepesimisan
akan hal itu menjadi terwujud. Pada akhirnya dengan nada yang belum aku kenali
tangganya, aku harus lekas sadar bahwa hujan batu di sepetak langit di atas
kepalaku ini tidak akan berakhir sebelum aku mencari air untuk menyejukkan
benturan-benturan yang sejak lama membara ini.
*Dongeng ini untuk Miftah ar-Rayyani, harapanku agar engkau tidak tidak sampai sepertiku membalas batu di atas derasnya suara petir. Sabar dan tunggu adalah jawaban, sembari engkau menunggu hujan dan embun. Sabar akan ada saat di mana fajar dan subuh berbicang dengan hangatnya.
Yogyakarta,
4 Januari 2017
Komentar
Posting Komentar