Menanti
Sajak Rumi dari Serambi Barat
Oleh:
Moehji Ben Sjamsoeir
Hitunglah berapa sudah kiranya jumlah bekas luka yang ada
di dahi ini, bukankah kita masih ingat luka itu di mana saja kita mendapatkanya
dan bukankah karena sebab air menetes berlubanglah batu, sudah barang tentu karena
ada penyebab luka barulah timbul bekas dari luka.
Lihatlah
pula ke depan mataku, di depanku ada api yang menyala-nyala, masihkah api akan
aku mainkan dan aku lompat-lompati kegirangan layaknya singa sirkus yang
diperdaya oleh pawang?, Masihkah aku akan menjadi kelinci yang bersembunyi di
dalam topi ataukah aku menari menguliti diriku sendiri di atas meja realitas
yang membelit kaki-kaki kursi, yang hanya bergoyang-goyang itu.?
Sekilas
telah aku temukan beberapa penyakit yang ada dalam diri, beberapa ramuan telah
ada di atas meja, hanya saja jika hati dan hari masih di selimuti kebingungan
dan kekacauan bisakah kiranya ramuan itu aku yang mencampurkannya menjadi obat,
atau malah menjadi racun yang membuat melarat?.
Pernah
sekali waktu aku mengirimkan lembaran-lembaran yang belum sampai jiwaku ke
pangkal makannya, lembaran itu aku berikan kepada seorang pencari hikmah. Dengan
nada yang penuh harap aku berujar kepada sosok yang haus akan hikmah itu, “Jelaskanlah
satu subbab saja mengenai lembaran-lembaran itu, ataukah dengan engkau
mendiamkan hal ini aku akan menemui Rumi dalam mimpi, sedangkan aku tidak
pernah bersyukur kepada malam?”.
Tentang
untaian puisi tanpa bait itu, bagiku itu sangat rumit bahkan lebih rumit dari
mengartikan sebuah arti dari dua warna benang yang dirajut dalam satu simbol
kesucian dan keberanian, hal itu lebih rumit dari sekedar mengarangkan syair
untuk memuji kencantikan seorang perempuan.
Bukan
tidak pernah aku mencoba untuk menguraikan benang yang kusut itu, hanya saja aku
terlalu hanyut mengikuti akalku yang tak lagi sehat ini atau aku mengurai
benang kusut dengan kepala saja, maka yang aku dapati benang itu hanya semakin
rumit saja, padahal sangat jelas isyarat dari pada benang itu, ia hanya tampak
kusut karena hati belum hadir dalam mengurainya.
Tidak
banyak yang mengerti bahwa aku sedang memberikan cambuk, sejatinya
lembaran-lembaran itu adalah cambuk yang paling halus yang aku titipkan agar
sesiapa saja bisa memukulku tanpa harus mataku memutih terbelalak, mukaku
memerah, punggungku terluka oleh karena pukulan itu. Jika mereka lebih paham
akan hakekat, sudah barang tentu yang paling mereka tuju adalah agar setan
dalam hatiku kocar-kacir ketika cambuk itu memukul jiwaku.
Tidak
banyak yang mengetahui akan hal ini, aku meminjam banyak dari ar-Rumi tapi
satupun belum pandai aku menggunakannya, ketika Rumi menghilangkan hal ini dan
mengambil hal itu untuk sebuah penghayatan tapi aku menunggangi hal ini dan hal
itu untuk alasan pembernaran atas kesalahan demi kesalahan. Oleh karenanya aku
menanti sajak Rumi dari serambi barat dari seorang yang berguru tutur pada
al-Fansuri dan berguru fikah pada ar-Raniry.
Sumber gambar: icrp-online.org
Yogyakarta,
8 Januari 2016
Komentar
Posting Komentar