Mawar Sejati Tidak Akan Mengundang Lalat




Mawar Sejati Tidak Akan Mengundang Lalat
Oleh: Moehji Ben Sjamsoier

Begini sajak dari sajak yang terbaring kaku di peti mati itu, berharap pelayat menyimpul sedikit tangis belas kasihan, namun apalah daya, kata-kata itu tidak terucap. Tak akan lama setelah para pelayat membawa raut muka yang pilu nan sedih, sebentar lagi akan pergi juga. Mereka akan pulang ke dunia kegembiraannya, tinggallah sajak itu mendekap kedinginan seorang diri. 

Jauh hari sebelum sajak itu kaku, ia pernah hidup dan bersajak pula, tidak sama namun tidak pula jauh amat letak perbedaannya. Di sebuah kota yang tidak ada bangunan megah di dalamnya, hanya ada menumen tapak kaki raksasa yang menginjak seekor naga. Di samping menumen itu ada sebuah taman yang miskin dari mawar dan kembang yang lainnya, di taman itu hanya ada patung seekor harimau yang tampaknya sedang berang kepada patung naga, kedua patung itu hadap berhadapan saling memberangi.

Kala itu pemilik sajak membuat sebuah perjanjian dengan perempuan yang sering ia namai sebagai "angin dalam pelukan", ia membuat janji, kala ia mampu menyeduh kopi di kota Naga malam itu, maka esok pagi akan bersorak sorai bunga-bunga dan bangku taman akan melihat siapa yang duduk di sampingnya sambil melepar padangan kosong kaearah luatan yang di batasi pegungungan itu.

Sayang teramat sayang, sajak itu mesti ia bacakan dan dengarkan sendiri. "perjanjian kopi dan gula" tak berujung manis. Mungkin keadaan fikirannya kala itu seperti cerita si majnun--yang kerap diulang-ulang oleh seorang penyair yang tempat ari-arinya tertanam jauh dari hingga mencapai sekian mil dari Toba, melewati garis batas sebuah kerjaan Sultan Deli, tepatnya tanah yang pernah bersatu dengan tanah as-Sinkily kepadaku--barangkali.

Dengan memainakan gitar dengan nada sayup, ia bercerita tentang si manjun, katanya si majnun ini sering bersyair di lorong-lorong kota, di keramain pasar, sampai-sampai kegilaanya amat ia nikmati karena laila dalam tubuhnya itu, ia tidak mahu penyakitnya itu dicabut. Begitulah pula pemilik sajak itu, ia tidak sehat dalam bait-bait "kekasih imajinasinya" kala itu.

***

Dalam sebuah perbicangan semi serius beberapa waktu yang lalu, dengan tamu atau mungkin orang asing, tamu itu pandir sekali mengatur langkah dan gaya bibir sebelum berujar dan berlabuh dalam kerumitan.

Dari sebagaian belahan langit tentu aku akan memberikan beberapa tanda terimakasih, karena telah menderaku. Ini sejalan dengan sajak-sajak yang menjadi mayat dan telah bersamayam dalam peti yang dinamainya dengan "LALU" sebuah peti hasil ukiran tangan Baredor Mack Jinglon dan Muhyi Atsarissalaf Bin Syamsuir, dalam peti itu bersemayam sajak "Dera Aku", sajak itu meminta sesiapapun agar menderanya supaya ia meradang "dera aku maka aku akan meradang".

Tapi pada belahan langit yang lain, aku akan sangat membenci hal semacam ini, dalih-dalih aku bukanlah orang yang teramat suka dengan permainan, jikapun harus membuat sandiwara, beritahu aku agar aku berlakon sebaik atau seburuk mungkin. Atau aku bertugas sebagai pengisi suara di balik layar, ku coba memekik deras sampai-sampai telinga pekak tuli dibuatnya, sembari engkau sebagai lakon yang menari-nari di depan layar buatlah mata-matapun buta tertutupi oleh kemolekan mukamu.

Tega tak tega, tapi kala kalajengkeing menggigit jari manisku, nada-nadaku akan melengking, sajak dari bau pesing keheningan bisa tumpah begitu saja tampa ada rasa berdosa. Apakah kau tidak pernah mendengar buaian atau sajak seorang tuan kepada puan yang tidur di ranjang, sesiapa yang mahu tinggal datangi, setelah meleparkan senyum awal dan senyum akhir lantas pergi begitu saja. Namun sayang termat sayang beberapa tergadai atau tercecer begitu saja tanpa bayaran sepeserpun.

Mungkin setelah ia tertipu oleh kalimat "cinta" dari kumbang yang melumat keindahan kembang yang sedang mekar-mekarnya. Kini ia seperti mawar di persimpangan jalan, berdebu, dan meminta beberapa kumbang hinggap dan melumat kembali, hingga akhirnya kumbang itu mati di atas kembang mawar yang layu dan berwajah muram. Sangat mengerikan bukan, aku yang lalat saja masih bisa berfikir kala aku ingin hinggap di sampah-sampah dan kotoron. Mawar yang sejati tidak akan menambah aromanya hanya untuk mengundang seekor lalat bukan?.

Sajak lalatpun akan bernada miring jika demikian kejadiannya. Kotornya lalat itu sampai ia berfikir, ini seperti kesuraman yang mencari orang yang akan bertanggungjawab atas kedurjaannya.

Sumber Gambar: najwaaiman.blogspot.com
Yogyakarta, 4 Februari 2017

Komentar

Posting Komentar