Buka
Bersama Kucing Persia
Oleh: Moehji Ben Sjamsoeir
Sedari
awal sore tadi, aku tidak mempersiapkan apapun untuk ta’jil. Hampir sama dengan
langgam berbuka awal ramadhan tahun lalu. Tahun lalu hanya dengan sebotol
minuman, aku lupa mereknya apa. Mungkin adik adun dengan frestea, greentea dan
sejawatnya. Buka puasa tahun ini hanya dengan teh celup Sariwangi. Ketika
pengajian sore sudah terdengar sama-samar di langgar yang tidak jauh dari rumah
itu. Aku baru memanaskan air, sebuah ceret empunya kawanku.
Air
dalam ceret yang terbakar si api biru itu, mulai teriak perlahan. Buih yang
berperang dengan asap itu mulai memberontak. “Ctek” aku mematikan kompor. Sebuah
cangkir plastik warna pink, telah berisi gula. Air panas itu melarutkan, teh celup
itu memberi warna yang lebih pekat plus dengan aromanya.
Seekor
kucing, mungkin kucing ini kucing Persia. Seekorang kucing empunya kawanku,
dibelinya seminggu sebelum ramadhan. Tidak jelas, apa motivasinya membeli
kucing itu. memang aku tidak pernah bertanya padanya. Hanya dari
obrolan-obrolan kami itu saja aku menebak, kucing itu untuk menghilangkan
bosan. Kucing yang sangat manja, makanannya pupuk. Jauh bedanya dengan kucing
kampung kepunyaan adik perempuanku di sana.
Suara
pengajian sudah mulai sedikit pelan. Shalawat penanda sebentar lagi azan telah
diputar. Aku dan teh masih saling menatap. Kucing Persia itu masih tertidur di
bangku kursi tempat aku duduk tadi. Kucing Persia itu entah ikut sahur semalam.
Aku lupa menyiapkan ta’jil untuknya. Kasihan sekali, mungkin dari subuh tadi ia
tidak makan dan minum. Ia ikut berpuasa.
Azan
telah berkumandang. Alhamdulillah, aku menguk teh yang sedari tadi mengundang
aku agar mencicip rasanya itu telah mengalir di tenggorokan yang kering ini.
Sedikit pekat, tapi tidak pahit. Sebungkus rokok. Nyaan. Benda yang sedari tadi
melilirik-lirikku itu terjepit diantara bibir atas dan bibir bawah. Mampus kau,
sekarang aku membakarmu. Asapnya terasa sedikit asing ditengorokan. Selain
bulan puasa, satu hari sangat susah tidak merokok. Jika, aku bisa mengatur pola
merekokku di bulan ini, mungkin pas lebaran nanti paru-paruku juga ikut fitri.
Setelah
menghabiskan satu batang rokok. Aku beranjak mengisi daftar hadir dalam catatan
magrib ini. Kucing Persia itu masih saja tidur. Em, mungkin ia memang tidak
puasa. Eh, setelah aku salam kedua. Ia menguap. Wah dia sudah bangun.
“tidak
jadi kau tidur panjang Cing?”
“Eong..
Eoong. Eeong?” Ternyata bahasa kucing tidak berbeda walapun ia Persia. Baiklah,
aku terjemahkan. “Ahh… Ada-ada aja kamu ni. Mana bukaanku?” Lebih kurang
begitulah artinya. Aku memang kurang fasih bahasa Persia.
Aku
mengambilkan makanannya yang aneh itu. Makanan kucing yang tidak pernah dimakan
kucing di kampungku. Seiring perkembangan budaya manusia, ternyata kucing juga
ikut berbudaya. Aku rasa aneh sekali, Emm. Tapi, nanti saja mengomentari kucing
ini.
Aku
sendirian saja di meja makan. Kawan-kawanku semuanya mencari bukaan gratis di
luar rumah. Kucing Persia itu menghampiriku duduk di sebelahku. Entah apa yang
diisyarakannya. Karena penasaran aku menempelkan kuping mendekat ke mulutnya.
“Eeeong..
Eeoong”. Dasar kucing yang tak kenal untung. Berani-beraninya dia mengejekku.
Oya, kau mungkin tidak tahu artinya apa. Begini artinya “Ehh. Makanya jangan
jomblo”. Bah, apa ndak parah kucing ini. Untung saja dia tidak suka kopi,
sempat dia suka, udah kena sianida juga ini bocah kucing. Eh.
“Ehh.
Emang aku kucing Persia?”
“Kucing
kawanku mirip denganmu”
“Terus
aku Persia gitu?”
“Ya,
ah iya”
“Aku
pengen jadi kucing nusantara”
Kucing
yang beramata lebar itu mirip kian dengan kucing Persia. Apa lagi dari
bulu-bulu yang halus, aku jadi teringat dengan karpet-karpet yang ternar di Persia
kala itu. Aku kira ia memang kucing Persia. Tapi, kau bisa lihat percakapanku
itu. ia tampaknya tidak terima dengan gelaran itu. Ia tampak lebih suka jika
disebut kucing nusantara, yang dikenal dengan toleran. Jarang bertengkar. Tidak
mudah membenci kucing yang tidak sebangsa dengannya.
“Kenapa
cing?”
“Tapi
aku tidak bisa menusantara”
“Maksudmu?.
Kau jangan bercanda. Kau itu sudah sangat menusantara cing”
“Iya.
Aku tidak bisa mentradisi”
“Mmm.
Menusantara bukan melulu perkara mentradisi cing. Tapi, menusantara itu mengerti bahwa kita hidup dalam kemajemukan”.
Ahh.
Kucing, kucing. Kenapa engkau terlalu bersedih dengan apapun kamu cing. Sekarang
bukan tentang siapa kamu, tapi bagaimana kamu. Aku sengaja menyebutmu Persia,
bukan tanpa alasan. Karena Persia itu sangat aku kagumi. Dalam hal berfikir dan
mencetak pemikiran. Kucing disana lebih terdepan cing. Engkau tidak usah risau
dengan siapa engkau.
“Cing.
Santai saja. Khasnya menusantara itu, tidak mengambil pusing”
“Apa
maksud anda manusia Jomblo?”
“Ehh.
Kau jangan mengejekku.!”
“Ahh.
Bencanda. Jangan diambil pusing”
“Eeeong
E E ong Ong… Haha haha haha” Kami bedua berkelakar. Setelah sadar bahwa
percakapan kami memang tidak perlu diambil pusing. Terimakasih kucing. Sudah menemani
berbukaku sore ini.
“Ehh.
Salah judulmu itu. Aku Anggora”
“Lah..
udah terlanjurpun. Kek mana lah”.
Yogyakarta.
27 Mei 2017
Komentar
Posting Komentar