Mesebuka Ala Meugang




Mesebuka Ala Meugang

Oleh: Moehji Ben Sjamsoeir

Ibu, apa kabar?. Aku sedang mengukur jarak; dari sebuah desa kecil di kaki gunung Lauser sana; Lawe Sawah menuju tanah Shultan. Jarak yang tidak dekat, ibu, ayah. Jarak itu bermil-mil, menghabiskan tidak cukup dengan sepekan berjalan kaki. Barangkali, kalau bukan berkat perjuangan syuhada-syuhada jaringan informatika, surat Mesebuka ala Meugang ini tidak akan sampai kesana. Sedari subuh buta tadi, kekira jam tiga lewat sedikit. Tepat ketika Muazdin menyebutkan “sak meniko azan awal” dalam bahasa Jawa. Mungkin emak tidak mengerti. Baiklah, anakmu yang masih terbata-bata dengan bahasa Jawa ini mencoba untuk menterjemahnya. Kekira itu artinya begini “Ini waktunya azan pertama”.

Sesubuh buta itu aku sudah membayangkan, suara kerbau yang melawan ketika hendak direbahkan itu. Kerbau yang akan disembelih. Dan menjadi santapan di hari Meugang ini. Sepagi tadi, ketika aku terbagun. Aku mencium aroma daun bawang, daun tapak leman dan ningur sahuk (kelapa gonseng) itu menyatu di serat daging yang dipotong kecil-kecil itu.

Sedari pagi tadi aku menuggu telpon darimu. Aku sudah menebak, mesti akan ada pertanyaan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. “Nak, ada makan daging hari ini?” pertanyaan yang aku nanti ketika hari Meugang. Bukan pada makan daging itu, tentunya. Tapi lebih dari pada itu, kerinduan itu seperti masakan Khas Kluet itu, mak. Rabe; paduan bumbu yang telah menyatu dengan daging itu kian Khasnya. Begitu juga dengan kerinduan ini, kerinduan adalah rasa dan telah menyatu disetiap daging manusia ini.

Aku teringat cerita adikku Miftah ar-Rayyani, ketika itu meugang pertama aku di Jogja. Ia menceritakan tetang rabe yang hanya ditatap dan ditangisi itu. Tidak sampai hati memakannya, teringat buah hati dirantau urang. Ya, tapi begitulah, mak. Zaman boleh saja berubah, tapi kerinduan tidak akan. Sebagai manusia Kluet, pantang kaki rasanya terlalu lama di kampung. Jika, para endatu kami medan laganya Tanoh Karo, kami yang tumbuh di zaman ini Alhamdulillah sudah ada yang sampai ke Kairo dan belahan dunia yang lainnya.

Semalam, Putri marga Selian itu menelponku. “Dak Wi” panggilan yang masih lengket sedari kecil. Ia bercerita, tetang mesebuku, “ratapan” dalam bahasa Indonesianya. Ratapan orang Kluat, terakhir aku dengar ketika aku masih sangat kecil ketika itu. Ratapan itu seperti punya daya magis. Pilu kian jika disenandungkan. Putri marga Selian itu mencoba menirukan, tapi sayangnya banyak kian syairnya yang tidak kami tau. Kami menyebutnya dengan “mesebuka” kata “mesebuku” yang kami ucapkan ala Indo-Kluet. “Mesebuka” mungkin hampir sama dengan sejarah “robe” yang menjadi “robal” atau “sumpe” yang menjadi “sumpal”. 

“Mesbuku” sengaja diksi ini kami ubah menjadi mesebuka, agar kami tidak benar-benar mesebuku (meratap, menangis) di hari meugang ini. Aku teringat dengan tulisan dosenku Pak Fathur Rahman. Bahwa kembali kepangkuan ibu itu adalah proses recharge; penyerapan energi baru. (lihat, Fathurrahman. 2017). Kecupan di kening, atau pelukan, atau ciuman di pipi?. Itu adalah daya bagi seorang anak dan orang tua.

Oya, mak. Apa mak membuat ketupot (ketupat) hari ini?. Aku sudah membayangkan, Raja Ketupot; ayahku sudah menati-nanti masakan itu dihidangkan. Gaya khas ayah yang hanya mengenakan baju singlet putih, celana tanggung selutut. Topi cowboy? Hehe. Jangan sempat tertinggal.  

Aroma masakan daging meugang membuatku terus saja membayang memori setahun lalu. Kerinduanku pada bibir yang merah yang asik mungunyah sirih itu. “Ndik Kampung” begitu kami para cucu ini sudah sepakat menyebutnya. Aku rasa, Muammar Khadafi, Putri Kamalia Sari, Miftah ar-Rayyani, Iyos Julipa Naldi, Alfiana dan sederet nama-nama cucu Timahmani yang lainnya, mesti merindukan ciuman dari bibir Ndik Kampung yang beraromakan sirih itu. Biarlah memerah kami tidak akan mengusapnya lagi.

Beginilah cara kami mesebuku di abad 21 ini, Mak. Kerinduan tidak cukup jika hanya dari ucapan. Kerinduan tidak lagi menjadi rahasia individu; kerinduan sudah menjadi konsumsi umum di abad ini ibu. Wajar jika berbeda dengan mesebuku pada zamanmu dulu, abad 20 itu; yang nyaring dan merindu kian syairnya. 

Agaknya terlalu singkat, jika hanya tidak lebih dari 1000 kata untuk hari meugang ini. Namun, keterbatasan anakmu dalam merangkai kata, cukuplah untuk menjadi alasan sementara, Ibu. Ayah. Jika jam 13 lewat 14 menit tadi aku mengucapkan dengan suara yang diterbangkan oleh jaringan dari langit-langit Kotagedhe menuju langit-langit desa di kaki Lauser itu; Lawe Sawah. Sekarang boleh kiranya kata itu aku ulangi lagi. Selamat hari Meugang 1438 Hijriah. Emak, (Iyot RA) Ayah, Nenek, Paman, Bibi dan Kawan-kawan semua. 

*Abaikan foto, masih menuggu foto Rabe. hehe
 
Yogyakarta. Hari Muegang, 25 Mei 2017.

Komentar