CAMBRIA
Oleh: Moehji Ben Sjamsoeir
“Rerumputan
kecil yang malang
Makhluk
kecil
Tumbuh
liar di bawah kayu-kayu besar
Beringin
perkasa memaksa selaras
Semua
jenis nyanyian burung, perkutut dan pipit”
1
Seperti biasanya, sepulang kuliah Salfida langsung menyalakan
lattopnya. Sore itu Salafida tampak termengung. Aplikasi Microsoft word masih
dalam keadaan blank dokumen. Tidak
ada tulisan; kosong. Hanya penanda kursor itu yang timbul dan tenggelam.
Sebatang rokok dinyalakan, hampir habis dibibir asbak. Salafida sedang membuat
rancangan untuk proyek novelnya, yang sudah berbulan-bulan sempat tertunda.
Sebuah novel karya Jack London; The
Call of the Wild; Panggilan Alam Liar dalam versi terjamahan masih
tergeletak dengan posisi terbelah dua. Novel pinjaman dari kawannya Baredor,
seorang mahasiswa Sastra Inggris yang sempat mendapat tawaran bermain teater
setelah sukses melakoni the Death dalam Drama The Game; sebuah pertunjukan
kecil konsumsi kecil untuk kelas pagi. Buku yang sudah lama bersemanyam dalam
rak. Tanpa belaian, menyepi, hingga alam liar mulai mengoda lembar-lembar yang
masih tegang itu.
Salafida meletakkan tangannya di atas keyboard, ia mulai menulis lima
baris puisi untuk memulai novelnya, mungkin ia bermaskud meniru Jack London yang
memulai dengan puisi ‘Atavism’ dari Jhon M. O’Hara.
Lima bait puisi baru saja selesai, Salafida nampak bingung melanjutkan
kata. Ia mengarahkan kursor ke menu ‘home’ lalu mengubah fontnya dari Times New
Roman menjadi Cambria. Cambria; jenis font kegemaran salah satu dosen di
kampusnya. Tapi, setelah puisi-puisi Hamzah Fansuri tidak masuk pembahasan dalam
kelas, ia mulai jarang masuk dalam kelas. Kelas siang yang mengundang kantuk.
‘Cambria’ menjadi font favoritnya dalam menulis termasuk membaca. Tentang
font? Perkara kecil yang berarti besar bagi Salafida. Baginya font itu adalah
seni yang bisa dilihat mata, sedangkan isi buku itu adalah subtansi yang bisa
dilihat oleh hati. Keduanya jangan coba untuk dipisahkan.
Salafida baru saja menyelesaikan buku bacaanya. Sebuah buku baru,
terbitan tahun 2017. Penulisnya orang yang sangat ia kagumi. Memang sudah lama
Salafida suka dengan kajian sosial. Semenjak itu Salafida yang seorang mahasiwa
hukum mulai suka dengan kajian-kajian filsafat, terlebih lagi tentang Meta-theory
dan metafisika. Makanan baru, katanya.
Kegemarannya membaca buku, sampai-sampai ia harus mengorbankan kuliah
paginya. Kasihan sekali, giat tapi tidak cermat mengatur waktu. Waktu malam
yang seharusnya untuk istirahat ia habiskan dengan segelas kopi dan mengrogoti
buku-buku. Buku yang rarata tidak menjadi bahan ajar di kelasnya.
Setelah menyelesaikan buku itu ia mulai berfikir, ia mengingat kembali
tentang kekasihnya. Seorang perempuan yang sangat sulit untuk ditebak keinginan
dan jalan hidupnya. Salafida memang suka sekali nyeleneh, ia memperlajari teori sosial dan filsafat untuk
mengetahui gejala dan cara berfikir perempuan yang mengisi sebagain hati dan
kepalanya itu.
Pernah sekali waktu, sehabis membaca buku yang membahas tiga tokoh; Henry
Corbin, Charles Taylor dan Naquib. Ia ingin membangun sebuah paradigma dalam
melihat kekasihnya itu. Semenjak itu pula fikirannya semakin tampak kekacauan.
Kegemaran menulit status di facebook semakin menjadi-jadi. Tulisan yang tidak
singkat melainkan panjang dan bertele-tele.
2
Namun itu semua hanya hidangan pembuka. Aku bukan sedang menceritakan
Salafida dengan keanehannya. Tidak! Aku tidak akan mengatakan tentang itu
seterusnya. Aku hanya mengabarkan saja. Aku bukan itu, Sitti. ‘Sitti’ Maaf,
untuk kesekian kalinya aku menyebut nama yang hampir terlarang aku menyebutnya.
Jika tulisan ini adalah burung, entah di mana dahan atau ranting
tempat hinggapnya. Aku memulainya dengan meniru Kuntowijoyo dengan novel Pasar-nya?. Atau mungkin engkau
menganjur agar kumemulai dengan Bumi
Manusia-nya Pramoedya. Aku masih memiliki pilihan, Hamka barangkali? dengan
Tengelamnya Kapal Van Der Wijck-nya.
Namun, dari ketiga karangan itu. Semoga kau bukan sosok Analies,
perempuan yang paling cengeng yang pernah aku temui dalam perjalanan tamasyaku.
Siti Zaitun?, tidak juga. Orang yang tidak cermat membaca rasa, dan terlalu egois
dengan ketuaan Pak Mantri, hingga akhirnya, bisikan di stasiun kereta itu,
entah kapan terjawabnya. Menjadi Hayati?. Masih dalam pertimbanganku. Walau
pada akhirnya sepotong jasad yang kaku, menjadi penerima ungkapan cinta.
Sayang. Maaf aku menyebut kata itu lagi. Kata yang barangkali menjadi
benang yang menyatukan kedua kain bibirmu. Kata yang membuat engkau membisu
dalam derasnya coloteh hatimu, dalam ayunan fikiranmu; bagai seorang bayi yang
risih dalam gendongan. Dan kau menutup pintu, membuat pertanyaan-pertanyaanku
masuk lewat jendela. Berdesakan hingga berujung pada pengusiran.
Puisi Rerumputan Kecil masih
tersimpan dalam buku catatanku. Masih setengah judul, lebih baik dari pada
edisi cerita pendek yang membusuk dalam tong naskah. Puisi Pablo Neruda baru
saja aku baca tadi malam. Setelah sorenya aku menanyakan pada kawanku tentang
Pablo. Entah, mungkin ia bukan tidak tahu. Hanya saja terlalu panjang untuk
menyingkatkan seorang Pablo. Tentang puisi Pablo; aku ingin menyulingnya
menjadi lebih tawar jika puisi itu terlalu manis untuk kau baca sayang.
…Rerumputan
kecil yang malang. Makhluk kecil yang tumbuh liar di bawah kayu-kayu besar yang
tegap perkasa. Embun menyelimuti, mendekap dengan dingin di dalam dingin. Apa
engkau pernah melihat embun di bawah terik?. Rerumputan kecil yang malang.
Terlalu ingin dalam dekapan embun, hingga ia lupa bahwa ada matahari yang lebih
besar. Rerumputan kecil yang malang. Melihat kekasihnya terangkat nyawanya
dengan amat perlahan.
Embun
yang tipis, sejuk dalam dingin. Menjelma menjadi awan, memberi bayang pada
rumput. Rumput kecil yang malang, dikiranya itu bukan lagi kekasihnya. Di
kiranya awan adalah kekasih hujan. Padahal embun itu sedang menjelma menjadi
awan dan hujan, dan menjelma lagi menjadi butir-butir kecil, butir-butih kecil
mendekap remrumputan kecil. Sayang sekali, rerumputan kecil masih merindu dan
menunggu kedatangan embun yang dikenalnya…
Mungkin begitu jika aku menarasikan puisi itu sayang. Bukan, ini bukan
jabaran puisi Pablo. Ini jabaran dari puisiku sendiri. Puisi yang sulit untuk
kau temui dalam buku-buku antologi puisi. Tentang penjabaranku itu, apakah
memang demikian teka-tekimu yang harus aku jawab itu?. Teka-teki yang menyita
hampir seluruh malam-malamku.
Teka-teki yang selalu meminta agar aku selalu berbincang dengan pena
dan kertas; dan beberapa buku kesusateraan. Aku masih ingat perdebatanku dengan
penaku itu, ketika pena itu sudah muak dengan teka-teki yang sama setiap
malamnya. Kertaspun mencoba untuk berpaling. Hanya buku-buku itu yang semakin
setia menjadi lentera di setiap termenungku.
3
Mungkin terlalu singkat untuk menggambarkan ‘Sitti’ dalam surat ini.
Ya, mungkin aku harus belajar lebih banyak tentang bagaimana Charles Taylor
menangkap sesuatau yang dilihat dan dirasakannya. Begitu juga dengan Corbin dan
Naquib, aku harus mempelajari ketiga manusia ini. Setelah itu, aku akan
menceritakan tentang ‘Sitti’. Seorang perempuan yang harus aku cintai layaknya
seorang budayawan mencintai budaya; kompkeks tidak lengkap jika hanya
pecahan-pecahannya saja.
Sitti, mencintaimu itu seperti mencintai kebudayaan. Tidak hanya bisa
dari lukisan wajahmu yang dalam garis tipis yang realis, atau hanya dari
tradisi lenggok berjalanmu. Tapi aku juga harus mencintai kesatuan fikirmu yang
menjadikan itu semua. Termasuk, aku juga harus mencintai pilhanmu untuk tidak
mencintaiku.
Pada akhirnya, dalam keterbatasn sebagai rerumputan kecil yang malang.
Apalah yang bisa diucapkan rerumputan kecil yang malang ini pada embun itu?.
Selain hanya memilih; embun itu menjelma menjadi Hayati yang telah mengajari
Zainudin bangkit dari keterpurukan janji. Atau menjadi Annalies yang membuat
Minke mengerti dilema hidup. Atau mungkin menjadi Siti Zaitun yang mebuat Pak
Mantri gemar menembang?.
4
“Para pipit menyeruak di jalanan
Dan dalam lembaran-lemabaran
Sepuas hati
Dan akar pohon pinus itu tetap terbawa-bawa”
Yogyakarta, 2017.
Sumber Gambar: Google.com
Komentar
Posting Komentar