Ibu, Ayah
Peluk Aku
Oleh: Moehji
Ben Sjamsoeir
Rasanya baru
kemarin aku memeluk dua tubuh yang gemuk dan hangat itu, kala itu tepat sebelum
gema takbir Si Perantau itu menggema di corong toa masjid, menghentak seluruh
batas-batas sawah, dan gunung yang mengelilingi kampung itu merasa lebih kecil
dan bukan apa-apa dibanding Dzat yang dituju alunan takbir itu.
Kala itu matahari
sedikit lebih awal menampakkan cahanya. Semalam bulan sudah membentuk sabit
tipis lagi; penanda masuk bulan baru. Dari balik gunung Mat Said; cahaya itu
menembus celah-celah rumpun bambu; samar namun semarak ia membubung mengoyang
awan-awan yang bersisik itu.
Tahun
kemarin aku tak sempat berpuisi di depan kedua jiwa yang selalu mendukungku
itu. “Tahun depan aku akan berpuisi, pada daging yang menyimpan ruh; yang akan
tulus mendengarkan apapun bahasaku nantinya” kataku setahun yang lalu.
Apalah daya,
ya mungkin ada baiknya sebagai seorang perantau tingkat awal sudah harus
merasakan kesepian di antara gema-gema takbir. Tidak mengapa, Ibu. Aku sedang
mengutip puisiku yang berceran di antara itu; sepi adalah puisi, bukan?.
Allahuakbar
Gema
itu aku dengar lagi,
Ibu,
peluk aku dengan puisi ini
Puisi
ini adalah aku, Ayah
Aku
memelukku dalam puisi ini
Kukecup
tangan itu dengan puisi ini
Kupeluk
tubuh itu juga dengan puisi ini
Kumeminta
ampunanmu Ayah, Ibu
…Juga
dengan puisi ini
Allahuakbar
Ayah,
Ibu. Jangan katakan
Aku
bukan tidak hadir di sisimu
Puisi
inilah aku, aku di sana,
Memakai
baju dan peci juga
Aku
sekarang di depanmu
Seperti
janjiku tahun kemarin
Sekarang
aku berpuisi di depanmu
Ayah, aku meminta ampun
Atas kepongahanku pada keringatmu
Ibu, aku meminta ampun
Atas kedurhakaanku pada rahimmu
Dengan puisi ini, aku mengecupmu,
Ayah, Ibu
Untuk kesekian kalinya… Dan aku
peluk lagi
Ayah,
Ibu. Puisi ini sengaja tidakku beri judul
Berikanlah
Ayah, Ibu.
Aku
lebih bangga dengan judul yang Ayah, Ibu pilihkan.
Ngayogyakarta Hadiningrat, 25 June
2017
Salam hangat dari anak lelakimu
Muhyi Atsarissalaf Bin Syamsuir
Komentar
Posting Komentar