Surat Kabar Minggu Pagi



Surat Kabar Minggu Pagi



“Terimakasih untuk koran minggu pagi yang menyedihkan itu, kawan.” Ujarmu dalam hati pada suamimu. Jelas jika kau ucapkan itu akan membentuk nada bas yang keluar dari dada, singkat seperti dalam adegan film-film barat. Engkau sudah hapal betul kolom-kolom koran pagi minggu itu, mesti yang kau dapati; kuliner, olahraga, politik, dan satu lagi yang tidak bisa kau lewatkan yaitu kuis mewarnai sketsa pepohonan dan rumah yang indah berseri.

Sketsa pohon yang tidak akan siapapun yang tidak mengecatnya dengan warna hijau. Selanjutnya adalah sketsa langit yang di topang gunung. Aliran sungai yang membelah piringan sawah. Selanjutnya adalah sketsa langit yang polos. Pada bagian inilah engkau akan sedikit menggerutu dalam hati ketika mendengar kalimat singkat anakmu yang masih sangat polos itu “Ma, pensil birunya udah habis. Belikan lagi ya, Ma”.

Setiap akhir bulan pada hari minggu yang ke empat. Engkau harus mendengar kata-kata dari anak lelakimu itu. Selalu saja, setiap minggu. Suamimu pulang pagi dengan membanting sepotong surat kabar yang selanjutnya akan disantap malaikat kecilmu itu. “Fantasi kaum termarjinalkan” sebutan yang sudah tidak sederhana lagi untuk kau dengarkan. Engkau semakin muak dengan surat kabar minggu pagi, setelah engkau tau bahwa putra kecilmu itu tidak pernah mengisi nominasi nama pemenang kuis mewarnai.

“Dek, buatin kopi” Teriak suamimu yang sedang duduk di pojok ruang tamu, diatas sofa dari ban bekas. Masih seperti kebiasaan suami tetanggamu; satu batang rokok kretek dan remot televisi. Suamimu khusuk betul menyaksikan koki-koki itu memasak tulang ikan yang sulit kau sebutkan namanya. Entah mengapa, akhir-akhir ini kotak berwarna itu memang tidak pernah lagi bersahabat denganmu. Kau berceloteh dari dapur mengikuti dengan bibir yang komat kamit tanpa suara; apa yang diucapkan koki dalam kotak berwarna itu. Kau menebak-nebak sekaligus mengejek apa yang akan dibicarakan manusia-manusia dalam kotak berwarna itu selanjutnya.

“Tidak akan pernah ada cara memasak kopi untuk seorang suami yang melempar surat kabar minggu pagi di situ”. Engkau mengerutu dalam hati. Engkau sudah bosan dengan penampilan seorang koki yang memasak dengan bahan dapur yang tidak pernah tersedia di dapurmu .

***
Sekian tahun dalam pemandangan yang sama ternyata membuatmu asma. Seolah tidak ada minggu pagi tanpa surat kabar. Surat kabar yang tidak pernah kau tau apa cerita yang sedang kembang kempis melintas di garis khatulistiwa; dan mungkin itu memang tidak penting bagimu dan juga bagi suamimu. Hanya saja sedikit penting bagi malaikat kecilmu yang sekarang-pun hampir menganggap kuis mewarnai itu sudah tidak penting lagi.

Dua tahun yang lalu, saat kau masih bisa ternsenyum. Ketika pertama kalinya suamimu membawa kotak pensil berwarna lalu menjadi hadiah ulang tahun putramu yang seharusnya sudah terlambat dua hari sebelumnya. Koran pagi minggu adalah sejarah yang sangat sedih sekaligus lucu bagi keluarga kecilmu itu. Terkadang kau tersenyum sambil mengiba pada nasib; kau ingat-ingat lagi ketika kau mengakali buku gambar yang lupa dibelikan suamimu dengan surat kabar minggu pagi itu.

“Aduh, Abang lupa dek.” Kata suamimu sambil memukul jidatnya. Kau suka membayangkan senyumnya yang lebar dan menampakkan giginya putih berbaris layaknya tentera penjaga kaleng susu. Masih sangat ceria kau rasa waktu itu. Masih genap bentuk cinta sebagaimana sediakala pertama kalinya ia mengombalimu lalu mengajakmu menikah.

“Koran bang. Koran minggu pagi” Ujarmu memberi solusi. Lalu engkau seditik tertawa atas solusi yang sangat solutif itu. Lalu kalian berangkulan, masih sangat mesra. Pagi minggu itu menjadi minggu yang sangat bersejarah untuk minggu-minggumu selanjutnya. Kau masih ingat ketika suamimu duduk di depan anakmu yang sedang mewarnai sketsa itu, kau di dapur sedang mengaduk kopi dan gula. Masih mesra senyummu menghidangkan kopi itu. Kau masih duduk di sebelahnya, kadang kau disulanginya dengan kopi yang sama.

“Cinta macam apa lagi yang kau dustai” Ujarmu pada dirimu sendiri dua tahun yang lalu. Itu dua tahun yang lalu, sekarang itu semua menjadi cerita lama bagimu, bagi suamimu, satu tahun lagi mungkin bagi putra kecilmu juga. Itu cerita dua tahun yang lalu. Cerita ketika masih ada daun singkong dan ubi jalar yang melilit ikatan cintamu. Ketika halaman luas depan rumahmu masih bisa kau tanami bunga, yang kau petik bibitnya dari tetangga.

Kau kira arus pembangunan proyek-proyek besar—yang tidak akan cukup seluruh jari keluarga kecilmu untuk menghitung gelontoran dananya itu—tidak secepat itu. Sekarang seikat daun singkong tua, dan tiga potong ubi jalar malah lebih mahal dari sepotong surat kabar pagi minggu. Belum lagi jika kau mengihutung dengan jari kaki dan tanganmu bahwa ongkos ke pasar juga lebih mahal dari koran pagi minggu. Sedangkan kau sebagai perempuan yang tidak berkecakapan merajut bunga dari botol bekas. Aduh, entah bagaimana pula nasibmu di lindas proyek-proyek itu nantinya.

“Koran minggu pagi” Ujarmu dalam hati, telunjukmu kau pukul-pukulkan pada dagumu yang menjadi alasan suamimu menikahimu itu.

“Si Abang belum bangun, Dek?” Suamimu bertanya padamu. Pertanyaan yang sudah beberapa minggu ini sering kau dengar. Kau harus memahami itu, sebagai manusia melayu suamimu masih pandai bermain majas. Kau harus cepat sadar bahwa itu anakmu adalah anak satu-satunya yang tidak mempunyai saudara. Kau sudah tau bukan apa maksudnya?. Suamimu sengaja memanggil “abang” tidak memanggil namanya, apa lain kalau bukan dibuatkan adik maksudnya.

Kau tidak menghiraukan. Kau masih berfikir tetang koran minggu pagi. “Bang, gimana ya caranya supaya koran ini bisa buat beli daun singkong, ubi jalar, garam, bawang, cabe … “ belum habis kau sebutkan barang-barang yang sudah habis di dapurmu itu, suamimu menjawab “Lihat saja di koran minggu pagi” sambil menyeruput dalam-dalam kopi yang barusan kau hidangkan.

“Koran minggu pagi” Ujarmu pelan, sambil membentangkan koran itu. Matamu terhimpit di antara iklan sedot wc, tenaga pijat jalan, gali sumur bor. Sesegera kau bidik iklan; lowongan pekerjaan yang menerima lulusan sekolah menengah atas. Kaulah perempauan ringkih itu; entah dari mana datangnya, potongan bait puisi sapardi itu memecah konsentrasimu yang terpaku pada kolom iklan itu. Kau baru menyadarari kaulah perempuan ringkih itu. […]





Yi Lawe 2017

Komentar