Sudah Kukatakan pada Pegawai Pos itu




Sudah Kukatakan pada Pegawai Pos itu

Oleh: Moehji Ben Sjamsoeir

Kenapa kau masih saja diam. Padahal ia sudah menunggu untuk segera kau pahami. Apa memang kau benar-benar tidak mendengar pertanyaanmu, yang berputar seperti angin ribut itu. Kenapa?: kau bertanya padaku, dalam mulutmu masih ada tanganmu yang baru saja mengantarkan nasi yang belum sempat kau kunyah itu. Kau nampak lucu, pipi kananmu gembung dan tenggorokanmu seperti tercekik. 

Begini, kau sudah menanyakan apa padanya?. Kau mengada-ngada … aku tidak pernah mendengar jawaban. Jawabmu, bibirmu masih menyambung dengan bibir gelas berisi air putih itu. Lalu kau kumurkan dan kau telan sisa biji nasi yang menyelip di ruang kosong antara bibir dan gusi itu. Memang apa katanya?: tanyamu sehabis bersendawa. Tanganmu memain-mainkan korek, sebatang rokok terdesak jatuh dari ujung bibirmu.

Ketika aku mengambil nafas, mepersiapkan kekuatan untuk menjelaskan kejadian yang tidak singkat itu, tepat ketika api itu membakar ujung rokokmu. Lalu kau menghisapnya dalam. Matamu terpejam. Lalu kau hembuskan; menabarkan plapon rumah yang berkapur putih itu. Kepalamu menggeleng pelan. Berhenti dan melihat ke arahku sambil menaikkan sebalah kakimu ke atas pantat kursi. Apa?. Seolah begitu yang aku dengar dari urutan gerakanmu yang sedikit kurang sopan, jika merujuk konsep kelas. Pegawai pos lebih terhormat dari pengangguran sepertimu.

Apa kau tidak pernah meperhatikan. Sejak dua bulan yang lalu ia lebih banyak diam, bakan tidak pernah menyapamu. Dan ketika engkau menyapanya ia hanya diam, dingin. Lalu?. Tanyamu dengan bahasa yang kau kirimkan dari alis matamu yang bergerak keatas dalam tempo lebih lambat dari sebuah kedipan reflek. 

Sepertinya ia sedang mengisyaratkan sesuatu agar segera kau pahami. Apa peduliku lagi. Jawabmu atas pembukaan cerita yang aku tuturkan itu. seolah tidak mengagetkan sedikitpun, seolah tidak ada hubungannya sebulu hidungpun dengan masa lalumu yang mengendus-hendus, melawan pengap menunggu kabar yang seperti cahaya darinya.

Seolah bukan kau yang selalu menafsirkan setiap teks tubuh dan gerak-geriknya itu. Seolah bukan kau yang mengatakan: Sampai akhir sanggpupku, ketika kau gila olehnya kala itu. Sekarang ia menjawab pertanyaanmu yang berisik, membelah malam. Pertanyaanmu yang membakar sikap dinginnya yang kau benci tapi kau paksa sukai itu. Haruskah aku tertarik dengan jawaban yang sudah tidak inginku mendengarnya?. Kau mejawab dengan diammu. Kau meludah, seolah ada yang berat melintang di tenggorokanmu.

Kawan, kau harus tetap mendengarkan jawabannya itu. Walaupun kau sudah tidak membutuhkannya, setidaknya kau perlu tau bahwa ia pernah menjawab. Cukup kalau begitu. Kau katakan. Kau tidak ingin mendengar seperti apa jawabannya. Kau mematikan rokokmu yang belum habis separuh itu, menekan bara di atas asbak besi berkarat. Kau tidak peduli, kelanjutan jawaban itu. Kau mengangkat tubuhmu yang sedang kekurangan bobot, karena terlalu banyak malam yang tidak kau habiskan itu.

Kau meraih kaos oblongmu yang penuh cap gigi tikus di bagian bahu itu. Seperti biasa, kau memasukkan tiga buku; dua buku puisi dan satu buku catatan tahunan. Langsung berjalan tanpa menegurku dengan kalimat perpisahan. Katakan pada pegawai pos, jangan pernah mengantarkan manusia untuk menceritakan masa lalu padaku!. Teriakmu padaku yang membuntut lima meter di belakangmu. 

Dari kejauhan aku meperhatikanmu, masih seperti kebiasanmu yang dulu. Engkau berjalan kaki menuju halte Trans Jogja. Mukamu tidak akan pernah berubah walau hanya sekadar untuk maksakan senyum sebagai formalitas sebuah sapaan pada pegawai halte itu. Ketika kau tidak ingin tersenyum, mukamu yang teracak-acak masa lalu itu kau paksakan pegawai halte itu juga harus menelannya. Terserah sebagai apa.

Kau tidak lagi mendengarkan bus nomor berapa yang harus kau naiki, dan harus berhenti di halte daerah mana. Engkau tidak peduli dengan penjelasan perempuan yang berkerja untuk masyarakat, yang bukan untuk lampiasan wajah kusammu yang masam itu. ... sejarah … bisa meruntukan jiwa sosialmu, kawan … begitu katamu padaku, ketika kita duduk di warung kopi langganan bebrapa minggu yang lalu. Dan sekarang aku sudah meliaht perkataanmu itu. memang benar sejarah telah meretas dan pahitnya; itu terjadi pada bibirmu. Terjahit mati dalam cemarut cemberut.

***

Satu tahun, bukan waktu yang singkat untuk seorang teman untuk tidak saling menghubungi. Kau benar-benar hilang dari peredaran. Judul buku dan nada bicaramu yang khas tidak lagi memekik di warung kopi langganan; ketika kau meneriakkan: Bang, kopi hitam stel-kan satu lagi, pada kasir yang sudah akrab denganmu itu. Adalah wajar bila seorang teman rindu pada temannya sendiri, adalah juga wajar bila aku mencari-cari kabarmu.

Beberapa hari yang lalu, setelah satu tahun tidak kudengar kabarmu. Aku membaca koran minggu yang biasanya memuat puisi. Aku belajar dari kebiasaanmu beberapa tahun yang lalu ketika kita bersama. Biasanya malam minggu kau tidak tidur di rumah, kau menghabiskan satu buku tipis di warung kopi itu. Pagi-pagi sekali kau baru pulang, di motormu biasanya terjepit koran yang kau katakan kau beli dari ibu-ibu yang berjualan di simpang lampu merah Timoho.

Sebelum membangunkanku, biasanya kau memasak air lalu membuat kopi. Koran itu tidak pernah kau baca utuh, hanya pada bagian puisi dan cerpennya saja. Kau tidak pernah tertarik membaca isu politik, atau jika pada hari-hari biasa—yang bukan hari minggu—kau malah tidak membaca koran yang sudah kau beli itu.

Bangun katamu. Tak segan kau menampar punggungku dengan keras. Hahaha … Ngopi pagi, kawan ... . Lanjutmu. Aku yang masih setengah sadar sudah harus mendengar suara bibirmu yang menyeruput kopi pagi minggu itu. Ahhhhh desahmu dari meja makan. Suara lembaran koran mulai mengidik-gidik kupingku. Setengah sadar aku menuju kamar mandi, mencuci muka dan mengejar kopi. Seperti biasa.

Mulailah. Ketika pagi minggu datang seolah kau adalah seorang penyair yang menanti penonton memenuhi bangku kosong. Dan bangku itu hanya dua; satu telah kau duduki dan tersisa satu lagi. dan ketika aku bangun dan menyeruput kopi, berarti kau siap membacakan puisi koran Minggu pagi itu.

Setidaknya sudah lima puluh hari minggu aku tidak pernah mendenar puisi dan seruputan kopi lagi. Baru sekarang aku mencoba mengenang kebiasaamu itu, aku membeli koran di tempat yang pernah kau ceritakan padaku itu. Ya, aku mendapati ibu-ibu. Seperti ceritamu; ibu itu mesti senyum lebar dan berkata: monggo moggo. Tapi yang ini sedikit berbeda dengan yang pernah ada dalam ceritamu, yang mungkin kau lupa menceritakannya. 

Kulihat wajah ibu itu seperti sedang menunggu seseorang datang, lalu menyalaminya dengan mecium tangannya. Mungkin sama seperti aku yang menunggu kau membacakan puisi di pagi ini. … kau mesti tau baca puisi, nanti kalau aku mati siapa yang baca lagi … Biasanya begitu kau mengejekku. Seolah aku memang suka sekali dengan caramu membaca puisi itu. Sehingga aku harus menimpal telapak tangganku dan berkata: Izin berguru Sifhu.

Sekarang aku harus membacanya sendiri. Entah apa yang dikatakan puisi ini. Aku kurang mengerti dan mungkin memang tidak mengerti. Tapi seolah penulis puisi ini adalah irang yang pernah dekat denganku. Apa kau yang menulisnya?.

**

Pegawai Pos [tidak sempat] Mengantarkan Masalalu


Katakan: dari bahasa diam
 untuk pertanyaanmu yang ribut itu;
 ... Lautan huruf dan aku di antara itu
 kemari dan kita akan tenggelam.

Dan kau ke sana, awal sesak yang kau rasa.
Jangan berhenti, semakin dalam.
Tuhan punya cara;
kau akan bernafas lapang dalam lautan huruf
Kekira itu yang ingin dikatakannya padamu ...


(Nun) dan Engkau Menyebutnya Lagi

Tulang pena tidak pernah benar-benar rapuh
untuk mencatat; cinta dan sejarah.

(Nun) hentikan anggapannya
yang mengganggap catatan tahunan itu lebih jujur.
Catatan langit lebih luas.
Tulang pena langit tidak akan kehabisan tinta,
buku-bukunya tidak akan kehabisan lembar.

(Nun) kala engkau meminta denyut nadimu dicatatkan,
dan pantulan cahaya dilihat matamu digambarkan.
Usah risau, pena langit lebih cepat
dari (sebelum) permintaamu ada.

(Mim) tenggelam dalam lautan kata;
sekadar kau baca ia sudah tumbuh di sela-sela biji pasir merah api.
Dan engkau tenggelam dalam lautan makna;
menjadi pohon yang menjarakkanmu dengan matahari.

(Mim) tulang rusuk yang kau gusuk-gusuk.
Darimu akan kembali padamu;
itulah alasan petamamu mencari-cari
dan mencocok-cocokkan tulang yang sepi bertualang itu.
Jauh sebelum itu darimu
tulang itu mendapat senyum dari-Nya
 pada hakekat sebelum tulang kembali
engkau mesti pergi kembali pada-Nya. 

Yi Lawe- 2017
**
Kawan. Pagi ini untuk pertama kalinya aku membaca puisi. Dan puisi itu ditulis seorang kawanku yang menyamar dalam nama pena: Yi Lawe. Seperti teriakanmu sebelum pergi menghilang dari peredaran itu: Katakan pada pegawai pos, jangan pernah mengantarkan manusia untuk menceritakan masa lalu padaku!. Sekarang aku baru bisa menjawabnya. Iya, akan aku katakan. Tapi, ibu-ibu penjual koran itu mengantarkan masa lalumu yang adalah masalalu kita.

Ah, jika mungkin tulisanku yang singkat ini di muat pada surat kabar yang sama; pada pagi minggu pagi. Apa kabar masalalu—bersama perempuan misterius itu—yang tidak ingin kau dengar jawabannya dari seorang pegawi pos. Mungkin terlalu singkat, mungkin baiknya jika aku memasangnya di kolom iklan, yang terhimpit bersama deretan nomor hp sedot wc dan pemanjang daging khusus itu. Dan pada kolom ini, adalah kolom yang tidak akan pernah kau baca. Katamu.




Yogyakarta, 4 Agustus 2017 
Sumber gambar: pxhere.com

Komentar