Hari Ini dan Amburadulnya Cara Saya Berbudaya: Seubah Auto-Cricique


Hari Ini dan Amburadulnya Cara Saya Berbudaya: Seubah Auto-Cricique[1]


  

  Bismillah.

Esai ini saya tulis dalam kapasitij dan kapabilitij saya sebagai seorang yang suka duduk-duduk di warung kopi dan berbincang ini itu.

Pada sebuah malam yang gelap. Eh, kalau meminjam cara Seno Gumira Adjidharma dalam menggambarkan yang gelap-gelap, maka kupinjam dan kubilang tidak ada yang lebih gelap, segela yang gelap adalah malam. Pokoknya gelap, namanya malam. Mirip tapi tak sama, atau memang sama. Tengoklah dalam kumcer “Senja dan Cinta Yang Berdarah”, terbitan Kompas. Pokoknya seperti itulah.

Di sela pikiran saya yang ke sana, ke mari. Saya membaca sebuah tulisan, sebuah opini dahysat yang ditulis oleh kakak kelas saya. Ledy Avista Lestari, namanya. Opini dengan judul “Saatnya Generasi Milenial Melestarikan Budaya Kluet Raya” yang dimuat di Buana.news itulah kemudian memantik saya, langsung tak lansung, sengaja tak sengaja, sudah mengajak saya merenung.

Setelah sekian menit, hampir satu jam merenung-enung. Eh,sepertinya lebih satu jam. Setengah malam, sapai pagi menjelang. Dan, terbesitlah dalam pikiran saya. “Berudayakah saya hari ini?” Tiba-tiba pertanyaan itu muncul. Belum terjawab, muncul pula pertanyaan baru. “Mengapa saya harus berbudaya?” masih belum terjawab, muncul lagi. “Budaya memberi saya apa?” Eh, atau “Apa yang bisa saya beri untuk kebudayaan?”

Tidak berhenti sampai di situ. Pertanyaan-pertanyaan yang sangat mudah dijawab oleh orang lain itu benar-benar merisaukan saya. Pertanyaan itu pula mengantarkan saya pada buku-buku yang ketika haha-hihi di warung kopi sempat saya baca-baca. Kalau tidak salah, judulnya “Aceh Baru Post-tsunami” anak ruhaniyahnya Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad. Entah pada halaman berapa. Buku itu kini tinggal di Jogja, di sebuah kontrakan yang tak rupa-bela.

Ada sebuah pertanyaan, yang saya kira sama dengan pertanyaan saya tadi, beberapa menit yang lalu. Eh, beberapa jam yang lalu. “Mungkinkah Aceh kembali pada Budaya?”. “Dih” ceritanya waktu itu saya terkejut. “Pertanyaan apa-apaan ini!?” Kata dan tanya saya pada diri saya dan kesendirian saya waktu itu.

Ada beberapa penjelasan, yang intinya, mengingatkan kembali saya akan makna kebudayaan. Secara sederhana, budaya adalah yang hidup dalam masyarakat: Pola bertingkah dan berperilaku, merasa dan berpikir, mencipta dan berkarya. Entah begini bunyinya, lebih jelasnya cek lagi buku tersebut. “Ketika budaya dianggap hanya yang bisa diangkat ke panggung-panggung, saat itu pula kita sedang tidak berbudaya”. Saya makin terkejut dan semakin bingung. Apa maksudnya?

Saya yang malas berpikir, malas merasa dan malas berkerja, yang singkatnya bisa saya sebut saya malas berbudaya ini entah bagaimana ceritanya, perlahan-lahan mencoba untuk tidak malas, minimal untuk berpikirlah. Saya sedikit berpikir, mungkin bahasa lainnya sepertiga berbudaya.

“Oh, maksudnya, ketika saya hanya menjadi penonton, dan menganggap acara kesenian sebagai satu-satunya kebudayaan berarti saya sedang tidak berbudaya dalam arti luas. Lah?” Mengapa bisa sampai demikian. Konon, menurut Antony Giddens, kayaknya. “...Kebudayaan adalah seluruh kesatuan cara hidup masyarakat...” Plak! Saya semakin bingung. Apa lagi itu?

Pikiran yang apa namanya ini, anu, membuat saya merenung-enung. Kalau demikian, berarti saya perlu bejalar tentang bagaimana masyarakat hidup. Petani misalnya, tentu dengan budaya taninya. Tidak silap saya, dalam istilah Kuntowijoyo dibilangnya “masyarakat agraris”. Tahlah, bagaimana pula makusdnya masyarakat agraris itu. Pola masyarakat yang dikendalikan oleh mitos-mitos tah? Kalau pun bukan, setidaknya itu adalah salah satu ciri masyarakat agraris. Mungkin masayarakat tani dipersatukan dengan pola hubungan keakraban dan persaudaraan, ketimbang hubungan kontraktuil yang prinsipnya kita sama-sama butuh makan kita teken janji.

Inilah yang kemudian mencemaskan saya. Masih berbudayakah saya? Saya bahkan tidak melakukan pendekatan kebudayaan terhadap kebudayaan yang sedang saya cintai. Serupa mencintai kucing karna bulunya, bukan karena tingkah lucu dan rasa penasarannya. Saya takut terjebak dalam cinta yang salah. Duh. Jangan sampai. Mudah-mudahan.

Konon, naga dalam legenda Tapak Tuan diperingatkan oleh Tuan Tapa agar tidak melanjutkan cintanya yang salah itu. Betapa tidak, naga itu ngotot, bersikeras, tegang urat, bahwa putri yang ia asuh adalah anaknya yang sah, dan ia berhak menolak jemputan pasukan kerajaan. Dan ketika utusan kerajaan menjemput putri itu kembali malah ia mengamuk-ngamuk sampai menyerang Petapa. Sebagai Petapa tentu ia tahu mana yang paling berhak terhadap putri itu.

(Legendanya bisa dibaca lagi. Saya hanya menutur dengan cara saya sendiri. Moga salah, dan diperbaiki)

Itulah yang saya takutkan. Mungkin saya berpikir saya sedang mencintai kebudayaan, tapi nyatanya sedang mengini-ngitukan budaya untuk ini-itu saya sendiri, seperti jual beli kebudayaan misalnya. Duh! Semangat budaya kita adalah menjaga kesatuan masayarkat dan kelestarian lingkungannya. Eh, malah pada praktiknya malah kadang saya jual begitu saja lalu saya mengambil pola individual. Masayarakat tempat budaya itu lahir dan tutup mata, akhirnya menjadi pononton belaka, itu pun harus bayar pula. Lailalah!

Dulu sewaktu saya masih kecil, nenek saya gemar mendongeng. Ada sebuah dongeng yang membekas dalam kepala saya sampai hari ini. “Cacue” kalau saya tidak salah judulnya. Kira-kira begini ceritanya:

Pada suatu hari di rumah Cacue diadakanlah sebuah perhelatan, syukurkan atau macoko nakan dalam istilah Kluwatnya. Tamu-tamu mulai berdatangan, lalu duduk dan berbicang-bincang. Rumah itu riuh rendah. Acara macoko nakan belum pula dimulai. Nenek Cacue mulai panik. Wajahnya mulai gusar, kata orang sudah pula mulai gerah dan bertanya-tanya. “Mengapa acara tidak dimulai terus?” Eh, rupanya Tengku belum datang. Jadi tidak ada yang membacakan do’a.

“Cue. Tolong cari Tengku, bawa datang ke rumah.” Si Nenek mulai upuh-apah. Gelagapan jadinya.

“Apa tanda-tandanya, Nek?”

“Pokonya nanti kalau kamu ada putih di kepalanya. Haa, itulah dia. Kamu bawa terus ke sini”.

“Baik, Nek” Cacue bergegas cepat-cepat keluar dari rumah. Ia mulai mencari-cari seperti yang disebutkan neneknya tadi.

Cacue si cucu ini rupanya polos tak tertolong. Mungkin masih bocah, entah. Dalam dongeng itu disebutkan, Cacue membawa seekor burung kedi (Itu burung putih kepalanya)

“Picik! Picik! Picik!” Burung yang merasa terjepit di tangan Cacue itu terus bercicit kesemptian.

“Sebentar lagi sampai, Tengku”.

Singkat cerita sampailah Cacue ke rumah. Ia langsung memanggil neneknya dan menyerahkan itu burung.

“Bukan ini” kata si Nenek. “Berjanggut dia” tambahnya lagi. Cacue mencari yang berjanggut pula.

Lagi-lagi, duh, entah mengapa begitu menyedihkan rasanya cerita ini. Si Cacoe menyeret seekor kambing bajar. Astagfirullah. Cacue, Cacue! Kambing itu diserahkannya ke neneknya.

“Bukan ini! Hai, Cacue! Kamu cari orang yang memakai kupiah putih dan berjanggut. Ia Tengku. Beliaulah yang bisa membaca doa”. Namun apa daya. Tamu yang sedari tadi sudah gerah menunggu, akhirnya membubarkan diri.

Begitulah seingat saya certinya, tentu dengan perubahan, baik bahasa dan gaya bercerita.

Saya membayangkan jika saya adalah semua tokoh dalam dongeng itu. Saya rasa semuanya dirugikan. Menjadi Nenek harus menanggung malu karena acara tak kunjung dimulai sampai akhirnya orang-orang membubarkan diri. Kalau saya menjadi Cacue mungkin agak lebih enak, tapi sedih juga menanggungkan kedungnguan yang demikian. Tapi yang paling menyedihkan bagi saya adalah menjadi kambing dan burung: Bukan, tapi dianggap iya.

Pesan morilnya: Eh, mungkin. Janganlah menyimpelkan sesuatu.  Mebulang dan bersongket dikira seniman. Sekali baca puisi disebut sastrawan. Sekali upload dituduh budayawan.  Padahal kan tidak sesimpel itu. Yah-mak tolonglah!

 

Lawe Sawah, Juli 2020.



[1]Sebuah metode kritik ke dalam yang terdengar ke luar. Seperti cericit anak burung yang kesakitan akibat pertumbuhan sayap jarumnya, atawa reseknya seorang bayi yang baru tumbuh gigi. Heheu.

Komentar